Salam Silaturahmi dari Guru PAI SMKN 5 Surabaya

Tata Niat, terus Ikhtiyar dan Doa serta Tawakkal Pada Allah Swt

SHOLEH LUAR DALAM

Semangat mengaji tanpa batas

Ikhtiyar dengan AL-Qur'an dan Sholawat

#Dirumahaja|Temukan Kesholehan bersama orang tercinta

SEMANGAT IBADAH DENGAN MENGHARAP RIDHO ALLAH

Karena bisa jadi bukan ibadahmu yang menyelamatkanmu

Follow Us in Instagram

ngaji bersama GPAI Stembaya

# SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI GURU MAPEL PAI SMKN 5 SURABAYA, NGAJI SEPANJANG HAYAT | INFO : SELAMA MASA PEMBELAJARAN DI RUMAH, PEMBELAJARAN PAI DIPUSATKAN DI SITUS RESMI INI, BAGI SISWA-SISWI SMKN 5 SURABAYA SILAHKAN KOORDINASI DENGAN GURU PAI MASING-MASING UNTUK BERSAMA-SAMA MEMBERDAYAKAN SITUS INI DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH # .....

Rabu, 25 Mei 2022

“MEMBERI DAN MENOLAK” (Belajar kitab Hikam dari Nelayan dan Petani di Lamongan)

 


MEMBERI DAN MENOLAK

(Belajar kitab Hikam dari Nelayan dan Petani di Lamongan)

Taqoballahu minna waminkum taqobbal ya karim, Minal Aidin wal faizin, mohon maaf lahi dan batin. Rangkaian kalimat ini adalah kalimat sakral yang sering terdengung pasca bulan suci Ramadhan sampai bulan Syawal. hal ini disampaikan juga oleh Dr. KH. Saiful Jazil, M.Ag saat memulai Taushiyyahnya di Auditorium SMKN 5 Surabaya dalam Acara Halal bi Halal MGMP PAI SMK Kota Surabaya tahun 1443 H / 2022 M.

Kiyai Saiful Jazil berdiri sekaligus bertausiyyah dihadapan tamu-tamu dari kementrian Agama Kota Surabaya, diantaranya ; Dr. H. Pardi, M.Pd.I selaku Ka. Kantor Kemenag Kota Surabaya, hadir pula mendampingi beliau bapak Kasi PAIS Kemenag Kota Surabaya dan pengawas Guru PAI SMK Kota Surabaya, tidak hanya itu, beliau juga berada di hadapan Guru-Guru PAI SMK se kota surabaya. Tentu bertaushiyyah dihadapan pakar-pakar agama islam adalah hal yang cukup berat, butuh persiapan konsep yang matang dan dapat diterima dengan baik. Kiyai Jazil mungkin menganggap berbicara di depan para guru PAI lengkap dengan Perangkat dari kemenag sama halnya dengan menggarami lautan.

Tenang, santun, dan teduh menyaksikan beliau di atas panggung, beliau lebih nyaman dengan mengambil posisi berdiri walaupun kursi sofa empuk lengkap dengan meja yang diatasnya tersedia secangkir air jahe, dan air mineral, beliau tetap memilih berdiri. Seolah-olah beliau memberikan keteladanan untuk tetap hormat dan takdzim pada orang-orang yang beliau anggap lebih alim yang ada di depan beliau. Beliau tidak ingin menggurui para guru.  

Sesekali, bahkan berkali-kali beliau melemparkan beberapa pantun indah yang membuat riuh suasana Auditorium. Tentu, ini bukan hanya sekedar style atau kebiasaan beliau, tapi karena pada dasarnya sajak-sajak indah itu biasanya hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang mampu menafsiri dengan tafsiran yang lebih baik, serta mampu memaknai kata-kata singkat menjadi bertingkat-tingkat, Begitulah Kiyai Jazil melayani dan memuliakan Guru-Guru PAI yang hadir dihadapannya. Seolah ada kekhawatiran akan berpalingnya perhatian audiens ke lain hal atau bisa mengantuk dan jenuh.

Dalam berdakwah, Kiyai Jazil betul-betul berusaha mengambil hati dan memahami kebutuhan pendengarnya, bagaimana tidak?, rata-rata guru peserta Tes PPG terkesima ketika kiyai masuk memberikan nasihat dan motivasi serta doa untuk mereka, sebuah canda ringannya beliau sampaikan : “doakanlah peserta pretes PPG itu agar lulus semua, karena panggilan PPG itu seperti penggilan kematian, datangnya sekali seumur hidup”, sontak suasana menjadi penuh tawa, hal ini adalah perhatian penting bagi audiens yang membuat mereka menunggu dan menunggu karena yakin nasihat-nasihat selanjutnya jauh lebih berisi. Dari sini titik fokus jama’ah yang hadir mulai terarah dan tertata pada sang kiyai.

Kiyai memandang beckdroup acara di belakangnya dan memabaca tema yang tertulis dengan jelas : “Beribadah & Berkarya menuju GPAI Semakin berkah”. Dari tema ini beliau mencoba mengantarkan semua tamu undangan untuk flashback di masa lalu dan mengingat-ngingat tentang sebuah tradisi guru yang sering membawa kayu kecil (Jawa : penjalin) saat mendidik murid-muridnya, bukan hanya masalah penjalin itu saja, kata-kata yang keluar dari lisan guru-guru dulu masih terngiang-ngiang di telinga : “nak bapak tidak niat memukul kamu, tapi bapak niat memukul setannya” sembari kayu kecil mendarat di kaki muridnya. Apakah anak-anak dulu dianggap kesetanan semuanya, atau sudah menjadi setan ? tanya sang kiyai kembali memecah suasana. Luar biasanya, anak-anak yang dipukul gurunya kala itu, tidak pernah dipemasalahkan oleh wali muridnya, apalagi dilaporkan ke polisi (Jangan disamakan dengan zaman sekarang!). Ternyata resepnya adalah guru-guru zaman dulu sepertinya mempraktekkan konsep ayat Al-Qur’an :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqqoroh : 153)

 

Guru-guru zaman dulu Ketika ada masalah mereka cepat-cepat mengadu kepada Allah dengan Sabar dan sholat. Mereka sering melibatkan Allah dalam setiap urusannya, Allah yang akan bantu menyelesaikan masalahnya. Begitulah kira-kira pegangan guru-guru dahulu, entah dengan guru-guru sekarang? 

 

Kiyai yang juga Doktor di UIN Sunan Ampel Surabaya ini memberikan gambaran keteladanan berdasarkan pengalaman realitas yang tidak bisa tertolak oleh semua guru-guru  yang hadir (hampir semua pernah dipenjalin atau melihat peristiwa penjalin semasa menjadi murid). Seolah mengantarkan alam bawa sadar untuk betul-betul sadar kembali bahwa audiens adalah seorang guru yang pernah menjadi seorang murid, bahkan pernah menjadi murid “nakal” juga. Tanpa memberi kesimpulan, seolah tersimpul sendiri dalam benak para audiens (guru-guru PAI) tentang mahalnya sebuah strategi dan metode mengajar yang baik jika senantiasa melibatkan Allah – Dzat yang Maha Berilmu dan Maha memberikan Ilmu.

25 Menit berjalan, Kiyai Jazil megajak para guru PAI untuk ngaji kepada shohibul Hikam – Syekh Ibnu Athoillah. Disinilah kehebatan beliau memilih kitab sekaligus mushonnifnya untuk disajikan pada kalangan ilmuan seperti guru-guru PAI. Sontak, seolah audiens diantarkan  menjadi murid yang gelasnya kosong dan bersiap menimbah banyak air ilmu dari Ibnu ‘Athoillah. Ketawadhu’an guru-guru PAI yang menjadi Audiens kala itu mulai tampak, mereka sadar betul bahwa Syekh Ibnu ‘Athoillah adalah ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Karya itu meliputi bidang tasawuf, tafsir, akidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Sadar akan kekurangan ilmu yang dimiliki, guru-guru PAI makin haus akan ilmu dari shohibul hikam tersebut.

Dengan tenang dan fasihnya Kiyai Jazil mulai membacakan mutiara hikmah dari syekh ibnu Athoillah Al-Askandary :

ربما أعطاك الله فمنعك،

Terkadang Allah memberimu tapi berupa penolakannya terhadapmu

وربما منعك فأعطاك،

Terkadang Allah menolakmu tapi hakikatnya memberimu

وإذا كشف لك الحكمة في المنع، عاد المنع عين العطاء

“Manakala kamu dibukakan pintu Hikmah oleh Allah, maka kamu akan paham dan mengerti bahwa pada hakikatnya penolakan Allah adalah wujud yang terbaik untuk anda”

 

Mencerna mutiara hikmah ini tidak semudah yang kita bayangkan, kiyai Jazil senantiasa menyederhanakan maknanya agar mudah diterima dari semua latar belakang Guru PAI yang hadir waktu itu, beliau kemudian mengutarakan 2 kata yang sangat kontradiktif, yakni kata menolak dan kata memberi, Bagaimanakah Allah dapat menolak tapi hakikatnya memberi ? sebagian audiens mulai mengerutkan dahinya, berpikir keras dan membayangkan akan keluar teori-teori ilmiah tingkat tinggi dengan berbagai istilah-istilah asing kamus ilmiah dari lisan seorang Kiyai plus Doktor itu.

Dengan santainya beliau mengejawantahkan pemahaman kitab sakral para salik yang di dalam kitab Hikam tersebut memiliki terminologi suluk yang ketat, Kiyai bercerita tentang profesi seseorang dan berangkat dari kisah nyata yang diangkat dari hasil silaturahmi di kampung halamannya sendiri di daerah Paciran Lamongan. Beliau berkisah :

Paciran adalah daerah pesisir Lamongan bagian Utara, mayoritas profesi warganya adalah Nelayan, suatu ketika ada seorang nelayan yang punya keinginan kuat untuk berangkat ibadah Haji, saking kepinginnya berangkat Haji,  nelayan itu menabung setiap hari, waktu terus berputar hingga terkumpul uang sejumlah Rp. 25 Juta. Uang tersebut langsung digunakan untuk daftar haji, tentu belum bisa langsung berangkat karena harus antri menunggu panggilan terlebih dahulu untuk beberapa tahun kemudian.

Setelah beberapa tahun berlalu, Nelayan itu mendapat panggilan untuk berangkat Haji, maka nelayan itu harus melunasi ONH sebesar Rp.37.500.000, belum termasuk uang untuk tasyakkuran, untuk urusan rombongan yang mengantarkan, belum lagi ketika pulang dari tanah suci dia juga kepikiran harus bawa oleh-oleh untuk saudara-saudaranya di tanah air nanti.

Singkat cerita, akhirnya beliau utang kanan kiri agar bisa membayar semua urusannya itu. Berangkatlah nelayan itu, sampainya di tanah suci dia rajin berdoa, doanya hanya satu : “Semoga pulang haji bisa bayar utang-utangnya (dan semoga yang dibayari menolak dibayar utangnya, hibur sang kiyai).

Suatu ketika saat nelayan itu Thawaf tiba-tiba terjadi musibah jatuhnya crane di area masjidil haram tepat di tempat thawaf, 107 orang yang thawaf langsung meninggal dunia,  238 jama’ah yang lainnya diberikan hidup oleh Allah dengan cidera luka berat dan ringan. Ternyata nelayan ini juga menjadi korban yang masih diberi kesempatan hidup, dengan musibah satu kupingnya putus.

Dimana letak kebaikan?, dimana hikmahnya? Kiyai jazil menegaskan pertanyaannya.

Ingatlah perkataannya ibnu athoillah tadi,

وإذا كشف لك الحكمة في المنع، عاد المنع عين العطاء

“Manakala kamu dibukakan pintu Hikmah oleh Allah, maka kamu akan paham dan mengerti bahwa pada hakikatnya penolakan Allah adalah wujud yang terbaik untuk anda.”

Ternyata Allah punya rencana lain.

Setelah pulang dari tanah suci, terdengar kabar datang dari bapak Duta besar Indonesia di Arab Saudi (bpk Drs, H. Agus Maftuh Abegebriel, M.Ag) mengumumkan bahwa seluruh jama’ah haji yang terkena musibah crane akan mendapatkan santunan yang disampaikan langsung oleh Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud. Santunannya adalah untuk korban meninggal dunia dapat sekian Ribu Real (hampir Rp. 4 M) sementara yang tidak meninggal (termasu kuping putus si Nelayan) mendapatkan 500.000 real (sekitar Rp. 1,75 M ).

Usai berkisah tentang nelayan dikampungnya itu, kiyai jazil mengajak jama’ah untuk merenugkan bersama-sama : “Bayangkan hitung-hitungannya, andai kata biaya syukurannya dan oleh-olehnya habis Rp. 75 jt, maka nelayan tadi sudah bisa melunasi utang-utangnya bahkan memiliki save uang Rp. 1 M, saya yakin Nelayan ini akan berdoa lagi kepada Allah : Ya Allah kenapa tidak putus saja kedua kuping saya (Goyon Kiyai Jazil memecah tawa jama’ah).

Kita belajar tentang usaha yang maksimal, tapi harus kita ingat semuanya pasti terbatas, kita sudah iktiyar, kita sudah belajar, tapi Allah punya rencana diluar kemampuan kita. Jika ternyata kita-kita ini lulus tapi Allah ternyata menghendaki lain, berarti ada kehendak kita yang tidak sama dengan kehendak Allah. Kiyai Jazil mengutip satu ayat :

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا - إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (QS. Al-Insyiroh : 5-6)

Dengan demikian kita akan mudah mengucapkan hakikat Alhamdulillah, usaha maksimah dan serahkan pada Allah, karena itu Allah berfirman :

 وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh : 216)

 

Tidak berhenti pada kisah Nelayan, satu kisah ditambahkan sebagai penutup taushiyyah beliau, kali ini kisah masyarakat yang masih di Lamongan juga, namun bagian selatan, beliau mulai bercerita dengan santai :

Lamongan selatan adalah kawasan bercocok tanam dengan sistem tadah hujan, ketika kemarau tiba maka bagi para petani yang memiliki lahan yang tidak begitu luas juga tidak maksimal hasilnya, bahkan terkadang tidak cukup untuk biaya hidup dari hasil panennya.

Akhirnya ada seorang petani di desa itu memutuskan untuk mengadu nasib ke kota surabaya dengan niatan belajar jualan bakso/pentol dan ikut seorang juragan untuk jualan dan gerobaknya, serta harus setoran hasil jualannya ke juragannya. Tentu jika yang laku sedikit maka hasilnya sedikit begitupun sebaliknya.

Mulailah Petani itu berjualan Bakso/pentol, hari pertama masih sepi, tidak ada pelanggan, tidak begitu laris. Sampai  3 hari tetap tidak pernah habis jualannya. Suatu ketika, saat sholat ashar tiba, dia ikut sholat berjama’ah di sebuah masjid, setelah selesai dia istirahat sejenak, saat itu gerobak baksonya diparkir di pinggir jalan depan masjid, sambil istirahat dia berdoa : “ Ya Allah… kalau bakso saya ini tidak habis, berarti utang saya semakin bertambah, tolong ya Allah Engkau berikan keberkahan dan kemudahan agar dagangan saya habis”.

Belum selesai dia ngerentek doanya, tiba-tiba ada mobil lewat, karena jalannya sempit akhrnya mobil itu nyerempet gerobak petani itu, gerobaknya terbalik serta pecah berantakan, kasihan.

Akhinya penjual bakso itu terkejut dan menangis. Alhamdulillah… yang punya mobil tadi turun dari mobilnya dan bertanggung jawab. Setelah diajak hitung-hitungan terkait kerugiannya, penjual menyatakan bahwa Gerobak harganya 5juta, dan semua jualannya senilai Rp. 500.000,-.  Tanpa banyak mikir pemilik mobil menggantinya dengan Rp. 10 juta (untuk ganti rugi ke juragan dan bisa kulakan lagi). Begitu senangnya si petani penjual bakso ini. dia lantas memuji Allah - Alhamdulillah, langsung meninggalkan gerobaknya dan pulang ke tempat tinggalnya.

sesampainya di rumah, dia ditanyakan istrinya, mana gerobaknya ?

pak tani lalu menjelaskan “Ya Allah dek ini, tadi saya kena musibah keserempet mobil. (belum selesai suaminya bercerita) Si Istri lagsung ngomel dan memarahi suamnya. Si istri kepikiran utang kemaren dengan juragannya, malah dapat masalah, utangnya akan bertambah lagi, belum hidup sehari-hari lagi susah. “Aku belum selesai cerita” kata suaminya, Alhamdulillah orangnya tanggung jawab, aku dibarikan uang Rp. 10 juta, bisa dibuat ganti gerobak juragan dan kita sekarang bisa beli gerobak dan kulakan sendiri tanpa ikut juragan lagi. Mendengar hal itu istrinya bartahmid - Alhamdlillah... kata istrinya “Ya sudah besok saya doakan semoga keserempet lagi (guyon kiyai menambahkan riuhnya tawa audiens)

 

Kembali lagi, terkadang doa kita secara lahir tidak dikabulkan Allah, tapi jangan lupa  bukan berarti tidak dikabulkan Allah bukankah janji Allah

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ."

(Al-Mu’min : 60)

 

Jadi pada hakikatnya Allah masih memilihkan apa yang terbaik yang akan diberikan kepada kita, dan Allah memilihkan waktu yang tepat kapan saatnya diberikan. Ilustrasi sederhanya kita punya anak kecil, kakak-kakaknya menyalakan mercon, adiknya yang kecil minta mercon juga, pengin beli sendiri, terkadang sampai anak itu nangis. Dalam keadaan seperti ini anak pasti memandang orang tua tidak sayang pada anaknya, padahal justru dalam pandangan orang tua karena saking sayangnya sebab orang tua tau betul resiko yang akan didapatkan.

 

Begitu pula terkadang kita mengharap sesuatu, mencintai sesuatu, terkadang tidak diberikan oleh Allah, bukan berarti doa kita tidak diterima, tapi Allah punya jalan yang terbaik untuk kita, sama halnya terkadang ada sesuatu yang tidak kita kehendaki, tidak kita inginkan malah terjadi pada diri kita. Wallahu ya’lamu wa antu la talamun (Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengerti)

Baik atau buruk itu adalah yang terbaik di hadapan Allah, apapun yang terjadi kita tetap Alhamdulillah, sehingga kita tidak mudah putus asa. Usaha dan kerja keras tidak mesti sesuai dengan yang kita harapkan, jangan sekali-kali mudah putus asa, libatkanlah Allah dalam segala urusan.

Pesan-pesan ini disampaikan dengan sangat sederhana namun kiyai Jazil berhasil mengantarkan makna esensial hikmah pesan Ibnu ‘Athoillah dengan tidak seperti menggurui para guru-guru, hal ini terbukti beliau menutup taushiyahnya dengan mengajak pendengar untuk meneladani Nabi Muhammad Saw. Sebagai sumber keteladanan yang sempurna. Inilah cara dakwah yang baik, pendakwah bukan mengajak meneladadi dirinya, tapi mengenalkan sosok-sosok inspiratif disekitar kita dengan bahasa dan realitas sehari-hari yang bermuara pada keteladanan Nabi Muhammad Saw.  

Wallahu A’lam Bishshwwab

 By : M. Alfithrah Arufa

(Sumber : Hikmah pengajian yang disampaikan oleh Dr. KH. Saiful Jazil, M.Ag dalam acara Halal Bi Halal MGMP PAI SMK Kota Surabaya tahun 1443 H/2022 di Auditorium SMKN 5 Surabaya)


Flayer Acara
Foto Bersama Pasca Acara



gpaismkn5sby. Diberdayakan oleh Blogger.