Salam Silaturahmi dari Guru PAI SMKN 5 Surabaya

Tata Niat, terus Ikhtiyar dan Doa serta Tawakkal Pada Allah Swt

SHOLEH LUAR DALAM

Semangat mengaji tanpa batas

Ikhtiyar dengan AL-Qur'an dan Sholawat

#Dirumahaja|Temukan Kesholehan bersama orang tercinta

SEMANGAT IBADAH DENGAN MENGHARAP RIDHO ALLAH

Karena bisa jadi bukan ibadahmu yang menyelamatkanmu

Follow Us in Instagram

ngaji bersama GPAI Stembaya

# SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI GURU MAPEL PAI SMKN 5 SURABAYA, NGAJI SEPANJANG HAYAT | INFO : SELAMA MASA PEMBELAJARAN DI RUMAH, PEMBELAJARAN PAI DIPUSATKAN DI SITUS RESMI INI, BAGI SISWA-SISWI SMKN 5 SURABAYA SILAHKAN KOORDINASI DENGAN GURU PAI MASING-MASING UNTUK BERSAMA-SAMA MEMBERDAYAKAN SITUS INI DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH # .....

Senin, 29 November 2021

KHUTBAH | BERPRASANGKA BAIK DALAM MENILAI ORANG LAIN

BERPRASANGKA BAIK DALAM MENILAI ORANG LAIN
(Oleh : Muhammad Alfithrah Arufa)

اَلْحَمْدُ لله، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اَوْضَحَ لَنَا سَبِيْلَ الرَّشَادْ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ رَبُّ الْاَرَضِيْنَ وَالسَّمَوَاتِ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا محمدا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرُ الْعِبَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَتَرَحَّمْ وَتَحَنَّنْ عَلَى سَيِّدِنَا محمد، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الْمَعَادِ. اَمَّا بَعْد   فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَاِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قال الله تعالى في كتابه الكريم : يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Satu Kisah menarik tertulis dalam kitab adabu ad-Dunya wa ad-Din karya Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Bashri Al-Mawardi.  Suatu ketika, Sahabat Rasulullah Saw yang bernama Thalhah bin Abdurrahman bin Auf,  seorang saudagar kaya raya dan sangat dermawan di masanya, beliau selalu didatangi sahabat-sahabatnya untuk bersilaturahmi, hampir tiap hari tamu berdatangan di rumahnya. Sang saudagar ini menjamu mereka dengan baik terkadang memberikan bantuan seadanya pada para tamu-tamunya.

suatu saat, sang saudagar kaya ini kehabisan harta. Perlahan sahabat-sahabat yang biasanya bertamu tidak datang lagi ke kediaman sang saudagar ini.

Melihat kenyataan ini, Istri sang saudagar kaya ini berkata : “Aku tidak melihat kaum yang buuk dari sahabat-sahabatmu” mendengar hal itu sang saudagar itu terkejut. “mengapa engkau berkata begitu wahai istriku?” tanya saudagar itu. Si istri kemudian menjawab : “betapa tidak, ketika engkau masih kaya, setiap hari temanmu datang bersilaturrahmi ke tempat ini. Dan ketika engkau miskin, tak seorang pun sahabatmu datang kesini. Bahkan mengenalmu pun, seolah-olah tidak”

Thalhah bin Abdurrahman menjawab dengan bijaksana:” Wahai Istriku, ketahuilah Justru mereka adalah sahabat-sahabatku yang baik. Mereka datang bersilaturrahmi ke rumah kita ketika kita mampu menjamu dan membantu mereka. Dan ketika kita miskin, mereka tidak datang ke rumah kita karena mereka paham, kita belum bisa menjamu mereka dan mereka tidak ingin membebani mereka.

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Sungguh suatu karakter yang luar biasa. “lihatlah !, betapa kemuliaan seorang Thalhah yang mentakwilkan : menganggap sikap kurang baik para sahabatnya sebagai suatu kebaikan”. Sikap yang mungkin bagi orang lain dianggap sebagai suatu penghianatan, tapi bagi Thalhah dianggap sebagai suatu kesetiaan. Dan ini adalah karakter orang-orang mulia, karakter orang-orang baik. Karena orang baik itu tidak melihat sesuatu kecuali yang dilihat itu adalah sisi kebaikannya.

اَلْخَيْرُ لَايَرَى شَيْئًا إِلَّاخَيْرًا

“Orang yang baik itu tidak melihat terhadap sesuatu kecuali yang dilihat adalah sisi-sisi baiknya, atau sisi-sisi yang positif.”

Maka iniliah pentingnya kita berpikir positif, berprasangka yang baik, atau husnu dzon. Baginda nabi bersabda:

أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ حُسْنُ ظَنِّ بِاللهِ وَحُسْنُ ظَنِّ بِعِبَادِ اللّهِ

“Seutama-utama amal adalah berprasangka baik kepada Allah dan berprasangka baik kepada hamba-hamba Allah.”

Yang pertamahusnu dzon billah. Berprasangka baik kepada Allah. Di dalam hadis qudsi, Allah berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

“Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap Aku.”

Artinya, ketika seorang hamba itu berprasangka baik kepada Allah maka Allah pun membenarkan dan merealisasikan kebaikan-kebaikan yang ada di dalam prasangka seorang hamba. Tetapi sebaliknya, ketika seorang hamba itu suudzon, berprasangka buruk kepada Allah maka Allah pun membenarkan dan merealisasikan keburukan-keburukan yang ada dalam prasangka hamba tersebut.

 

Maka, sudah selayaknya seorang hamba itu selalu berlatih husnu dzon. Selalu membiasakan berprasangka baik, agar kebaikan-kebaikan yang ada dalam prasangka hamba itu diwujudkan dan direalisasikan oleh Allah Swt. karena kita tidak tahu, terkadang apa yang kita benci justru itu adalah kebaikan. Sebaliknya, apa yang kita cintai justru adalah suatu keburukan.

 

Artinya, ketika kita tidak mengetahui kehendak Allah, maka sudah sepantasnya kita selalu berprasangka baik husnu dzon kepada Allah Swt.

 

Yang keduahusnu dzon bi ‘ibadillah. Berprasangka baik terhadap hamba-hamba Allah. Seperti yang dilakukan oleh Thalhah tadi.

 

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani (Imam Bakr bin Abdullah al-Muzanni (w. 106/108 H) adalah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. menurut para ulama, Imam Bakr al-Muzanni adalah ahli fiqih dan ahli hadits yang mumpuni.). Berikut riwayatnya :

 عن كنانة بن جبلة السلمي قال: قال بكر بن عبد الله :   إذا رأيتَ من هو أكبر منك فقل: هذا سبقني بالإيمان والعملي الصالح فهو خير منّي,  وإذا رأيتَ من هو أصغر منك فقل: سبقتُه إلي الذنوب والمعاصي فهو خير منّي,  وإذا رأيتَ إخوانك يُكرِمونك ويُعظِّمُونك فقل: هذا فَضلٌ أَخَذُوْا بِهِ, وإذا رأيتَ منهم تَقْصِيْرًا فقل: هذا ذنبٌ أحْدَثْتُهُ

 

Dari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia berkata: Imam Bakr bin Abdullah berkata:

1.     “Ketika kau melihat orang yang lebih tua darimu, katakanlah (pada dirimu sendiri): ‘Orang ini telah mendahuluiku dengan iman dan amal shalih, maka dia lebih baik dariku.’

2.     Ketika kau melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melakukan dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’

3.     Ketika kau melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini (karena) kualitas kebajikan yang mereka miliki.’

4.     Ketika kau melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini (karena) dosa yang telah kulakukan.”

(Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1985, juz 3, h. 248)

 

Prasangka baik harus kita dahulukan dalam menilai seseorang, sejahat dan seburuk apapun orang tersebut. Andai kita melihat ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari orang tersebut, lakukanlah dengan ma’ruf. Apalagi jika orang yang kita nilai adalah orang yang kita kenal atau dikenal berilmu. Kita harus lebih berhati-hati. Maka, penting bagi kita untuk menjadikan nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani (w. 108 H) sebagai pegangan sekaligus pengingat diri.

 

Dalam riwayat di atas, Imam Bakri al-Muzanni mengambil jarak penilaian antara dirinya dan orang selainnya. Ia melatih dirinya untuk selalu memandang orang lain dengan rasa hormat. Siapa pun yang ia temui, ia akan menganggapnya lebih mulia dan utama. Ia memberikan dua argumentasi untuk hal ini. Pertama, karena ia tahu betul siapa dirinya, dan kedua, karena pengetahuannya terhadap orang lain dipenuhi dengan keragu-raguan.

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Selain itu ada pula pesan dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani., beliau memberikan tambahan sebagaimana termaktub dalam Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh M Nawawi Al-Bantani, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani :

1.     “Jika bertemu ulama atau orang alim, kamu mesti berprasangka, ‘Orang ini dianugerahkan ilmu yang tidak dapat kugapai, meraih derajat tinggi yang tidak kuraih, mengetahui materi ilmu yang tidak kuketahui, dan mengamalkan ilmunya,’”

2.     “Bila bertemu orang awam atau bodoh, kamu harus berpikiran, ‘Orang ini bermaksiat kepada Allah karena ketidaktahuannya. Sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya secara sadar di tengah ilmuku. Aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidupnya, apakah husnul khatimah atau su’ul khatimah,’”

3.     “Bila berjumpa dengan orang kafir, kamu harus berprasangka, ‘Bisa jadi orang kafir ini suatu saat memeluk Islam dan mengakhiri hidupnya dengan amal yang baik/husnul khatimah. Sedangkan aku bisa jadi malah menjadi kafir suatu saat dan mengakhiri hidup dengan amal yang buruk/su’ul khatimah,’”

 

Sederhananya, pertama, semua manusia tentu tahu kualitas dirinya sendiri. Misalnya, pernah berbuat dosa, memiliki banyak aib yang disembunyikan, atau sering melakukan kebohongan.  Kedua, apa pun yang kita ketahui tentang orang lain, meskipun akrab atau kenal baik, tidak bisa mencapai derajat keyakinan seperti terhadap diri sendiri. Pasti ada ruang keraguan karena kita bukan mereka. Apalagi terhadap orang yang tidak kita kenal sama sekali.


Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Sebagai penguat pembahasan husnudzan tadi, mari kita renungkan sebuah kalam hikmah dai ulama salafus Sholih :

مَنْ كَثُرَ عِلْمُهُ، قَلَّ اِنْكَارُهُ عَلَى النَّاسِ

Artinya: “Barangsiapa yang banyak ilmunya, perasaan tidak cocoknya kepada masyarakat sedikit.”

"Orang kalau ilmunya tinggi (rajin ngaji, rajin majelis, kumpul sama ulama dan orang sholeh misalnya), maka tidak akan gampang menyalahkan orang lain (bersuudzan). Sama saja kalau kita berada di lantai 2, di bawah, maka tidak akan memiliki pandangan yang luas. Tapi kalau berada di lantai yang lebih tinggi kita akan melihat dengan lebih luas (lebih mampu melihat sisi positif dari segala perbedaan)"

Mari kita memulai dari diri sendiri (Ibda’ Bi Nafsik)!. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa mengenal diri (ma‘rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Sebagaimana hadits Rasulullah : man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya).

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Semoga bermanfaat, khususnya bagi diri saya dan umumnya bagi para jamaah. Semoga kelak kita dapat membawa prasangka baik agar menjadikan lingkungan kita aman dan damai, serta sebagai jalan menuju ampunan Allah SWT, menuju Ridha Allah SWT hingga kelak di akhir hayat, Ajal menjemput dengan cara khusnul khotimah. Aamiin Ya Robal ‘Alamin…

إِنَّ أَحْسَنَ الْكَلَامِ  كَلَامُ اللهِ الْمَلِكُ الْمَنَّانُ وَبِالْقَوْلِ يَهْتَدُ الْمُرْتَضُوْنَ . مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ . بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ مِنَ اْلأٓيَةِ    وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَاسْتَغْفِرُوْا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

……………………………

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا   أَمَّا بَعْدُ.

فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينْ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

RELASI GURU MURID (Belajar dari Kisah Rasulullah Musa AS. dan Nabiyullah Khidir AS.)

 RELASI GURU MURID

Belajar dari Kisah Rasulullah Musa 'Alaihimassalam &Nabiyullah Khidir 'Alaihimassalam

(oleh : Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I)



Ketika Rasulullah Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang murid, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.

Dalam Alquran dikisahkan Rasulullah Musa menaruh harapan besar untuk diterima menjadi murid, Rasulullah Musa berkata kepada Nabi Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66). Lalu sang guru menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi: 67).

Rasulullah Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon guru yang baru dijumpainya itu mengerti kalau dia tidak akan sanggup untuk bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, engkau akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).

Akhirnya Musa diterima sebagai murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa dari gurunya ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 70).

Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai itu sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Musa, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa spontan menyatakan keberatannya, “Mengapa kamu melubangi perahu itu, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).

Pertanyaan Rasulullah Musa yang walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, namun sang guru menganggap sikap batin yang mendorong Rasulullah Musa mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).

Menyadari kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Rasulullah Musa memohon maaf kepada gurunya, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).

Apa yang dialami Rasulullah Musa mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam alaihissalam dari jenis manusia. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Menanggapi tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon ampun terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32).

Seandainya Rasulullah Musa menyadari dan belajar apa ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari gurunya. Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia besar yang terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan (kosmologi spiritual ibn arabi).

Permohonan sang murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua terjadi bagi Rasulullah Musa ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain dan gurunya tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di antaranya.

Alangkah kagetnya Musa dan spontan memprotes dan menyatakan penyesalan perbuatan gurunya dengan mengatakan, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74). Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).

Musa berusaha untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya, sang guru mengizinkan Rasulullah Musa mengikutinya.

Perjalanan keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Rasulullah Musa mulai melihat keraguan di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah ia tidak salah pilih guru. Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini. Rasulullah Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Rasulullah Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.

Alangkah kagetnya Rasulullah Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Rasulullah Musa akhirnya bertanya untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.

Mendengarkan pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Rasulullah Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.

Namun sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada muridnya. “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan tujuanku merusak perahu itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu (yang bagus).” (QS. Al-Kahfi: 79).

Sedangkan, pembunuhan anak kecil dijelaskan bahwa kelak anak itu akan tumbuh dewasa menjadi anak yang durhaka dan menyusahkan orangtuanya “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 81).

Penjelasan terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi: 82).

Rasulullah Musa hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya Rasulullah Musa sadar bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan formal yang dilakukan dengan cara-cara pengajaran yang formal.

Belajar kearifan ternyata tidak harus menunggu memiliki media yang lengkap. Pelajaran kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati. Selamat belajar dan mengajar ………..

Minggu, 28 November 2021

MENGENAL PERSAHABATAN KH. AHMAD DAHLAN & KH. HASYIM ASY'ARI

MENGENAL PERSAHABATAN 
KH. AHMAD DAHLAN & KH. HASYIM ASY'ARI
(oleh : Ust. Mucahamad Sofyan Hadi, M.Pd.I)

Mungkin belum banyak yang mengetahui jika KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pernah sama-sama berguru kepada ulama yang sama. Di Semarang, beliau bedua pernah berguru kepada KH. Sholeh Darat (Syech Sholeh bin Umar as-Samarani). Di Mekkah, beliau berdua pernah belajar kepada Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

TELADAN KH. HASYIM ASY'ARI

KH. Hasyim Asy’ari (1871–1947) adalah pendiri dan pengasuh pertama Pesantren Tebuireng, Jombang. Beliau lahir pada 14 Februari 1871 di dusun Gedang, desa Tambakrejo, Jombang, dari keluarga yang memiliki nasab ulama. Sejak kecil beliau sudah di berikan pelajaran dasar-dasar ilmu agama oleh ayah (KH. Asy'ari) dan kakeknya dari jalur ibu (KH. Utsman). Mulai usia 15 tahun, Kiai Hasyim Asy’ari belajar di sejumlah pesantren seperti di Pesantren Wonorejo Jombang, Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.

Lalu Kiai Hasyim Asy’ari melanjutkan ke Pesantren Demangan Bangkalan yang diasuh oleh Syaikhona Kholil. Kemudian, belajar di Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo yang diasuh Kiai Ya'qub. Di kedua pesantren ini Kiai Hasyim Asy’ari belajar dalam waktu yang cukup lama.

 

Pada 1892 Kiai Hasyim Asy’ari ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu digunakannya juga untuk mendalami ilmu. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadits.

Pada 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Beliau aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang—yaitu bersama rakyat turut merebut kemerdekaan Indonesia—Kiai Hasyim Asy’ari juga produktif menulis. Beliau menulis antara pukul 10.00 WIB sampai menjelang Dhuhur. Setiap waktu longgar beliau membaca kitab, menulis, dan menerima tamu.

KH. Hasyim Asy’ari teguh memerjuangkan syariat Islam. Beliau konsisten di semua kesempatan untuk bersikap tegas dalam hal menegakkan kebenaran.

 

2 GURU

SYECH SHOLEH BIN UMAR AS-SAMARANI (KIAI SHOLEH DARAT).


Beliau guru Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Sholeh Darat pernah menetap di Mekkah untuk belajar. Saat itu, teman belajarnya antara lain Syech Nawawi Al-Bantani dan Syaikhona Kholil Bangkalan. Di belakang hari, Kiai Sholeh Darat dipercaya menjadi pengajar di Mekkah.

Ketika Kiai Sholeh Darat kembali ke Indonesia, beliau mengajar di Pesantren Darat milik KH. Murtadlo, sang mertua. Sejak itu pesantren tersebut berkembang pesat. Para santri berdatangan dari luar daerah. Disebut Pesantren Darat karena lembaga pendidikan itu berlokasi di kampung Melayu Darat, Semarang. Dari nama kampung ini pula bermulanya nama Sholeh Darat.

Di bawah kepengasuhan Kiai Sholeh Darat, murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkemuka. Selain Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari juga ada Syech Mahfudz at-Tremasi, asal Tremas Pacitan (seorang Kutubus Sittah dan pemegang sanad hadist shohih Bukhori dan Muslim) yang kelak menjadi ulama besar yang bermukim di Mekkah, KH. Idris (pendiri Pesantren Jamsaren, Solo), KH. Sya’ban (ulama ahli falaq dari Semarang).

Ada pula Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH. Nahrowi Dalhar Watucongol (pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang), dan KH. Munawwir (pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta). Mbah Kiai Sholeh Darat wafat di Semarang pada 18 Desember 1903.

 

SYECH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI.


Beliau juga guru Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau ulama asal Sumatra Barat yang sangat berpengaruh. Sebagai pembaharu, beliau berhasil membuka cakrawala berfikir dari banyak kalangan. Dari beliau muncul banyak Ulama Besar.

Syech Ahmad Khatib Minangkabawi lahir pada 26 Mei 1860 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Saat kecil beliau belajar dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah yaitu Syech Abdul Lathif.

Saat berusia 11 tahun, Syech Ahmad Khatib dibawa sang ayah menunaikan ibadah haji di Mekkah. Selain beribadah haji beliau juga belajar menuntut ilmu kepada banyak ulama ahlusunah wal jamaah di jazirah Arab. Di usianya yang menginjak 20 tahun beliau mulai dikenal masyarakat Mekkah karena akhlaq dan ilmunya. Maka, latar belakang inilah yang mengantarkan Syech Ahmad Khatib menjadi Imam dan Guru Besar dalam mazhab Syafi’iyah di Masjid Al-Haram.

Syech Ahmad Khatib adalah tokoh pembaharu asal Indonesia di penghujung abad 18 dan awal abad 19. Pemikiran-pemikiran beliau tersebar luas di Indonesia melalui murid-murid beliau yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan sekaligus menyempatkan diri belajar kepada beliau.

Setelah murid-muridnya kembali ke Indonesia, para murid itu lalu menjadi Ulama Besar dan berpengaruh. Misalnya; KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) dan KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947).

Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada 13 Maret 1916 dalam usia 56 tahun. Beliau banyak meninggalkan kader yang di didik secara langsung. Kader-kader itu lalu melahirkan juga kader-kader berikutnya, dan seterusnya.

Perhatikanlah, Kiai Ahmad Dahlan diketahui aktif menggerakkan dakwah dan pendidikan.

Jika Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Organisasi Islam Muhammadiyah pada 1912, maka Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 1926.

Kiai Ahmad Dahlan dikenal sangat peduli kepada usaha untuk selalu berpegang kepada syariat Allah, Kiai Hasyim Asy’ari juga demikian.

Kiai Ahmad Dahlan memiliki banyak murid dan berhasil mengkader langsung banyak pejuang bangsa yang tergolong sebagai “Bapak pendiri bangsa”. Misalnya, Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir, serta Kasman Singodimedjo yang masuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI. Selain itu ada juga Jenderal Besar Soedirman, sang Jenderal Panglima TNI pertama. Semua adalah kader Muhammadiyah.

Kiai Hasyim Asy’ari juga demikian, punya banyak murid dan berhasil mengkader banyak pejuang bangsa. Misalnya, sang singa podium penggertak para penjajah, yaitu Kiai Wahab Chasbullah, lalu Presiden RI pertama Ir. Soekarno, serta Dr. Soetomo (Bung Tomo), Bahkan, putra beliau sendiri, Kiai Wahid Hasyim—termasuk pula “Bapak pendiri bangsa” karena keanggotaannya di BPUPKI dan PPKI, yang kelak menjadi menteri agama RI pertama. Semua adalah kader Nahdlatul Ulama.

Di era sebelum kemerdekaan semangat juang Kiai Hasyim Asy'ari melalui Kiai Wahab Chasbullah dengan orasi-orasinya dimana-mana mempu menggertak dan membuat ciut nyali penjajah, baik Belanda atau Jepang. Maka dari itu dengan keberanian Kiai Wahab Chasbullah beliau di juluki “sang singa podium”.

Sementara, peran besar Kiai Hasyim Asy’ari dalam mempertahankan kemerdekaan, yaitu saat tentara NICA dengan memboncengi tentara sekutu hendak kembali menjajah Indonesia, Kiai Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad. Seruan itu berpengaruh signifikan terhadap semangat perlawanan prajurit, kaum santri dan rakyat Indonesia. Implikasinya melalui orasi dan pidato-pidato Bung Tomo yang membakar semangat para pejuang, mereka bisa memenangkan “Pertempuran 10 November 1945” yang legendaris itu.

 

KISAH UNIK

Di awal dakwahnya, Kiai Ahmad Dahlan memulainya di kampung Kauman, Yogyakarta, tempat asal beliau. Beliau melakukan pembaruan pemahaman keislaman, menyadarkan umat Islam agar terlepas dari keterpurukan. Tetapi pembelajaran itu banyak mendapat tantangan. Tidak semua orang di Kauman Yogyakarta setuju dengan dakwah beliau.

Perkembangan itu tak lepas dari pengamatan seorang pemuda bernama Basyir. Ia warga Kauman Yogyakarta, yang menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dia murid Kiai Hasyim Asy’ari. Dia pun “mengadu” kepada sang guru.

Terjadi perbincangan santri Basyir dengan Kiai Hasyim Asy'ari;

“Kiai, ada seorang tetangga saya di Kauman Yogyakarta yang baru pulang bermukim dari Mekkah. Dia menyampaikan sesuatu hal tentang pembaruan ajaran Islam sehingga terjadi perselisihan di antara masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas masih kental dengan tradisi” kata Basyir.

“Siapa nama beliau,?” tanya Kiai Hasyim Asy’ari.

“Ahmad Dahlan,” jawab si santri.

“Bagaimana ciri-cirinya,?” tanya Kiai Hasyim Asy’ari.

(Santri itu kemudian menggambarkan sosok Ahmad Dahlan).

“Oh..!! itu Kang Mas Darwis (nama asli Kiai Ahmad Dahlan),” seru Kiai Hasyim Asy’ari dengan perasaan gembira.

“Saya sudah mengenalnya,” sahut Kiai Hasyim lagi.

“Terus bagaimana Kiai,?” tanya si santri.

“Tidak apa-apa, hal yang di sampaikan oleh Kang Mas Darwis (Kiai Ahmad Dahlan) itu ada dasarnya. Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia,” demikian penjelasan dan nasihat Kiai Hasyim Asy’ari kepada santrinya itu.

Ternyata, Kiai Hasyim Asy’ari sudah mengenal dengan baik Kiai Ahmad Dahlan, sebab keduanya merupakan sahabat karib, teman se-perjuangan, se-majelis dalam pengajian-pengajian Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekkah. Bahkan, saat nyantri di Pondoknya Kiai Sholeh Darat Semarang, Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari bukan hanya teman mengaji saja, tetapi keduanya malah tinggal di kamar yang sama selama dua tahun.

Usia mereka terpaut dua tahun, Kiai Ahmad Dahlan lebih tua dari Kiai Hasyim Asy'ari.

Maka dari itu Kiai Ahmad Dahlan memanggil Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan “DiMas Hasyim”. Sebaliknya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ahmad Dahlan dengan sebutan “KangMas Darwis”.

Di keseharian, mereka saling membantu. Misal, saling menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Kadang yang menyiapkan Kiai Ahmad Dahlan dan kadang Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan sering juga mereka makan dari satu nampan yang sama, berdua. Suka-duka mereka lalui bersama.

 

SOSOK BASYIR

Kembali ke santri asal Kauman, Yogyakarta yang “mengadu” ke Kiai Hasyim Asy’ari itu. Nama lengkapnya, Muhammad Basyir Mahfudz. Dia, putra Kiai Mahfudz dari Kauman, Yogyakarta.

Basyir patuh terhadap petuah Kiai Hasyim Asy’ari, sang guru. Ia bertekad untuk membantu perjuangan Kiai Ahmad Dahlan ketika selesai berguru dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Sayang, ketikaBasyir pulang ke Kauman – Yogyakarta setelah usai nyantri dari Tebuireng, Kiai Ahmad Dahlan sudah wafat. Tinggal warisannya, Muhammadiyah. Atas kenyataan itu, Basyir bertekad aktif di Muhammadiyah dan ikut mengembangkannya. Niat itu diwujudkannya. Basyir terakhir aktif di PP Muhammadiyah, di Majelis Tarjih, yang saat itu Ketua Majelis Tarjih-nya adalah KH. Wardan Diponingrat.

Tak hanya itu. Basyir mendidik dan mengkader anak-anaknya untuk aktif juga di Muhammadiyah. Di kemudian hari, ada salah satu anaknya yang juga aktif di Majelis Tarjih. Bahkan, putra sulungnya itu—Ahmad Azhar Basyir—kemudian mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1990-1995.

 

SALING MENGUATKAN

KH. Ahmad Dahlan sudah sangat lama meninggal, yaitu pada tahun 1923.
KH. Hasyim Asy’ari juga telah lama wafat, yaitu pada tahun 1947. Tapi, dari keduanya kita akan mendapat ilmu untuk waktu yang sangat panjang.
Mereka telah mewariskan banyak hal, antara lain: Muhammadiyah dan NU, semangat mencari ilmu yang tinggi, serta spirit persahabatan yang saling mengasihi dan menguatkan.
Wallahu A'lam...
gpaismkn5sby. Diberdayakan oleh Blogger.