BELAJAR DARI RUMINI & UWAIS AL-QORNI
(M. Alfithrah Arufa, M.Pd.I)
Dikutib dari https://news.detik.com [Esti Widiyana - 07 Desember 2021] :
“Rumini (28) dan ibunya Salamah (70) ditemukan
meninggal dunia dalam kondisi berpelukan. Mereka merupakan korban erupsi Gunung
Semeru pada Sabtu (4/12). Rumini yang memilih menemani ibunya saat erupsi
terjadi, menyisakan rasa haru di masyarakat. Rumini tetap menemani ibunya yang
tak sanggup berjalan karena faktor usia. Saat erupsi Gunung Semeru terjadi,
warga saling berhamburan keluar rumah menyelamatkan diri. Rumini bisa saja lari
dan menyelamatkan diri saat itu. Namun hati kecil Rumini berat meninggalkan sang ibunda
sendirian di rumah. Warga Desa Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro, Lumajang ini
tetap berada di dalam rumah saat erupsi terjadi. Rumini memeluk ibunya hingga
keduanya ditemukan meninggal dunia.”
Kabar ini tiba-tiba menjadi magnet perhatian banyak orang. Rasa haru dan salut pada sosok Rumini bersautan di berbagai media dan pembicaraan pasca erupsi Semeru itu, hal ini harus menjadi pelajaran penting bagi siapapun dalam berbakti pada orang tua terlebih kepada Ibu.
Semua orang bisa berlari dari bencana, tapi tidak semua orang bisa lari dari hati nuraninya, mungkin ungkapan ini yang dihadirkan oleh rumini ketika semua panik menyelamatkan dirinya masing-masing, teriakan tim SAR atau petugas desa serta masyarakat sekitar saut-sautan “Ayo Lari... Lari...!!!”, sepertinya teriakan tersebut adalah hantaman keras bagi Rumini dan Ibunya, Rumini harus memilih antara anjuran orang-orang itu atau menjaga ibunya. Dalam posisi genting sepeti itu, tentu tidaklah mudah mengambil keputusan, hanya cinta yang besar, Iman yang kuat, serta ketulusan paripurna yang harus dihadirkan dalam pilihan terdarurat seperti itu.
Pada dasarnya ada banyak kisah inspiratif baktinya seorang anak pada ibundanya, diantaranya adalah kisah Uwais Al-Qorni yang tidak tenar di daerahnya sendiri (di dunia), namun tenar di “langit”. Uwais Al-Qorni mampu menggemparkan kampung halamannya sendiri (Kota Yaman) dengan kebaikannya. Ketika wafatnya bagitu banyak yang mengurus jenazahnya, bahkan terkadang tidak ada yang mengenal siapa tamu-tamu yang mengurus jenazahnya itu, penduduk kota Yaman tercengang dengan hal itu, lalu semua warga keheranan dan bertanya-tanya “siapakah sebenarnya Uwais Al-Qorni itu?”. Belakangan barulah penduduk Yaman mengetahui bahwa Uwais Al-Qorni adalah Penghuni Langit (Manusia yang terkenal di Langit).
Terlepas dari panjangnya kisah Berbaktinya Uwasi Al-Qorni pada Ibundanya yang tua dan lumpuh, setidaknya kita dapat mengilustrasikannya pada kisah sosok wanita bernama Rumini dan ibunya dalam kisah kaki gunung Semeru di negeri ini. Kisah ini harusnya menginspirasi banyak mata hati yang mulai redup akan makna berbakti pada orang tua, atau mulai sesat mencari jalan meraih ridha orang tua. Mungkin Larinya Rumini untuk menghindari bencana bagaikan “larinya” Uwais Al-Qorni meninggalkan ibundanya (atas izin ibunya) dari Yaman ke Madinah menempuh jarah 400 Km menuju kediaman Rasulllah SAW, Nabi yang sangat dirindukannya. Namun tujuannya itu tidak tercapai, hanya ada sautan Istri Rasulullah Siti Aisyah R.a yang mengatakan “ Rasulullah sedang di Medan perang”.
Uwais sempat kecewa tidak berjumpa dengan Rasulullah Saw secara langsung, ingin rasanya menunggu di depan kediaman Rasulullah sampai Rasulullah Kembali dari medan perang, Namun Uwais Al-Qorni teringat Ibunya, yang berpesan “cepat pulang ke Yaman, engkau harus lekas pulang!”. Akhirnya sebab ketaatan pada ibunya ini, keinginan hatinya untuk bertemu Rasulullah SAW dikalahkan. Dan pamit pada Siti Aisyah R.a, serta titip salam ke Rasulullah Saw. Kemudian beranjak melangkahkan kakinya menuju Ibunya di Yaman. Mungkin Rumini bukanlah Uwais Al-Qorni yang diistimewakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang musatajabah doanya sebagaimana yang disampaikan oleh Raslullah SAW kepada Sayyidina Umar Bin Khottob dan Ali bin Abi Thalib kala itu. Namun Rumini mampu memilih antara orang tuanya dan hal lainnya yang bagi sebagian orang adalah sebuah kebahagiaan dan keselamatan. Inilah pelajaran.
Rumini berlari ke mana ?, iya berlari ke Ibunya. Jawaban ini menjadi tanda akan kuatnya cinta wanita 28 tahun ini pada sang Ibundanya. Kerinduan, kekhawatiran berbalut Iman dan Taqwa semacam ini diharapkan dapat menjadi jalan meraih ridho Allah melalui Ridhanya orang tua. Semoga Rumini dan Ibunya termasuk dari hamba Allah yang Khusnul Kotimah.
Dan akhirnya kitapun diminta merenung, haruskah melalui letusan gunung, banjir bandang, angin kencang, ombak besar dan bencana lainnya, agar dapat membuka mata hati kita dalam berbakti pada orang tua?. Marilah, dimulai dari hal yang kecil, dimulai dari menjaga akhlak, muliakan, mendoakan, menjaga dan merawat orang tua sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, para sahabat, pengikutnya serta para ulama, dan juga melalui kisah-kisah inspiratif lainnya yang juga berakhir dengan cerita indah khusnul khotimah.
Mohon maaf, Walahu A’lam Bis Showwab