World Health Organization (WHO) menetapkan status pandemi global
Covid-19 setelah virus berbahaya ini menyebar ke sebagian besar wilayah dunia.
Jumlah yang tertular dan korban meninggal terus bertambah sedangkan titik
terang pengobatannya yang efektif belum ditemukan. Pengumpulan massa dalam
jumlah besar telah dihentikan untuk menghindari proses penularan seperti
sekolah, kampus, tempat hiburan/wisata, dan termasuk di antaranya aktivitas
ibadah seperti shalat Jumat. Iran dan Malaysia telah menghentikan jumatan di
masjid. Sebelumnya, Arab Saudi telah menghentikan umrah di Masjidil Haram.
Sekolah di DKI Jakarta, Jabar, dan Jateng telah diliburkan. Semuanya ditujukan
untuk mencegah penularan. Para ahli dalam bidang kesehatan menjadi
rujukan utama untuk mengetahui perkembangan penyakit tersebut.
Namun, pihak lain pun tidak ketinggalan membahasnya sesuai dengan
perspektif keahlian yang dimilikinya. Termasuk di antaranya kalangan ulama.
Ketika wabah tersebut baru tersebar di China, sempat ramai di perbincangkan
masyarakat terkait pendapat seorang dai yang mengatakan bahwa Covid-19
merupakan tentara Allah yang dikirimkan ke China karena menindas Muslim Uighur.
Kontroversi pun merebak terutama di media sosial. Menjadi pertanyaan besar
ketika virus itu pun tersebar ke komunitas Islam dan akhirnya menyebabkan
terhentinya aktivitas umrah, shalat Jumat, dan aktivitas ibadah umat Islam
lainnya yang melibatkan massa dalam jumlah besar.
Pandangan menghakimi pihak lain seperti itu sesungguhnya cerminan pola
pikir dari sebagian umat Islam. Dalam kasus-kasus sebelumnya, terdapat dai yang
menuduh daerah yang tertimpa bencana karena terkena laknat Allah sebagaimana
terjadi pada bencana gempa atau tsunami yang terjadi di Lombok, Palu, Banten
dan lainnya. Ayat Al-Qur’an dan hadits tertentu yang terkait dengan bencana
dikutip sebagai pembenar pendapatnya untuk menghakimi orang lain sedang
tertimpa musibah. Mereka tidak berpikir bagaimana jika terdapat keluarga atau
bahkan dirinya sendiri yang terkena bencana tersebut. Ketika bencana
juga menimpa umat Islam di seluruh dunia, sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Covid-19 ini, akhirnya orang-orang yang suka menghakimi tersebut terdiam. Kasus
ini seharusnya menjadi pelajaran untuk tidak dengan gampang menghakimi orang
lain, apalagi dengan menggunakan ayat atau hadits yang ketika disampaikan oleh
ulama yang dianggap kompeten dalam bidang agama kepada orang awam sebagai
sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
Teologi yang diyakini oleh para dai berpengaruh terhadap apa yang
disampaikannya. Pandangan yang menyerah saja kepada “takdir Allah” (jabariyah),
sehingga tak ada tindakan antisipatif terhadap Covid-19, dapat membahayakan
orang lain. Sikap tersebut menyebabkan mereka mengabaikan aturan kesehatan
sehingga berpotensi tertular dan menularkannya kepada orang lain. Alam berjalan
sesuai dengan hukum alam atau sunnatullah yang dapat diuji melalui proses sebab
akibat. Ketika kita tahu bahwa sebuah virus menyebar melalui interaksi antara
penderita dan orang di sekitarnya, maka mencegah terjadinya kerumunan merupakan
sebuah tindakan pencegahan yang harus dilakukan. Keyakinan tokoh agama
bahwa yang penting yakin saja kepada Allah untuk membenarkan dirinya menggelar
acara yang dihadiri oleh banyak orang merupakan bentuk keyakinan jabariyah
(fatalis). Ini dapat membahayakan banyak orang. Ketika hal buruk terjadi,
dengan cepat mereka mengatakan bahwa situasi itu terjadi dikarenakan takdir.
Padahal hal tersebut dikarenakan tindakan yang gegabah.
Kegampangan menggunakan perspektif takdir menyebabkan kita tidak belajar
atas kejadian buruk yang dialami karena takdir merupakan kehendak Allah yang
tidak dapat ditolak oleh manusia. Dengan demikian, tak ada proses evaluasi yang
perlu dilakukan, dan akhirnya tak ada perbaikan. Akhirnya, kesalahan yang sama
mungkin saja terjadi di masa depan. Usaha dalam bentuk doa merupakan
bagian dari upaya kita sebagai orang yang beriman. Namun, Allah sendiri tidak
memberi kepastian kapan doa akan dikabulkan. Apakah seketika atau jangka waktu
yang kita sendiri tidak tahu. Sains, yang didasarkan pada empirisme mampu
melakukan pengujian atas proses sebab akibat. Misalnya, sebuah virus dapat
menyebar dengan cara tertentu, seperti karena interaksi dengan orang lain.
Vaksin dengan formulasi tertentu dapat menyembuhkan sebuah virus tertentu.
Hal-hal seperti itu merupakan bagian dari sunnatullah dalam sebuah kehidupan
normal, sebagaimana api akan membakar suatu benda. Kisah-kisah tentang
keistimewaan yang dimiliki oleh orang tertentu yang keluar dari hukum
sunnatullah seperti Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api, tidak dapat
digunakan sebagai ukuran bagi publik.
Kini Covid-19 telah ada di depan mata kita. Cara kita dalam menyikapi
penyakit tersebut akan menentukan kemampuan kita mencegah penyebarannya atau
kecepatan penanganannya. Masing-masing telah memiliki keahlian sesuai dengan
kompetensi yang telah dibangun. Kita kawal upaya pengambil kebijakan membuat
langkah-langkah pencegahan dan penanganannya. Kita patuhi saran dari ahli
kesehatan untuk pola hidup sehat yang mengurangi risiko kita terpapar virus
tersebut. Para ulama, jika pengetahuannya terbatas pada bidang agama, maka sebaiknya
tidak keluar dari ranah kompetensinya, yaitu dengan cara mengajak umat untuk
menjadikan peristiwa saat ini sebagai momen untuk melakukan muhasabah,
meningkatkan keimanan kita kepada Allah, memperbanyak berdzikir dan doa, atau
hal-hal lain yang terkait keagamaan.
* Guru PAI SMKN 5 Surabaya - Waka Kesiswaan SMKN 5 Surabaya
* Guru PAI SMKN 5 Surabaya - Waka Kesiswaan SMKN 5 Surabaya
mantab artikelnya
BalasHapusartikel membangun ini
BalasHapus