oleh : M. Alfithrah Arufa
Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, tentu saja kita harus mau belajar, mau mengaji dan mau menimba
ilmu. Seluruh ilmu yang dapat menjadikan kita bisa semakin mendekatkan diri
kepada Allah. Baik itu berupa ilmu-ilmu ibadah mahdoh, seperti tata cara
sholat, membaca Al-Qur’an, berpuasa dan berhaji. Ataupun ilmu-ilmu pengetahuan
dan teknologi lainnya.
Kata “Ilmu” itu berasal dari
Bahasa Arab ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman, yang berarti “Mengerti sesuatu”. Atau juga
berasal dari kala ‘allama yang berarti “memberi tanda atau petunjuk” yang
berarti pengetahuan. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia Setiap orang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu, hal ini sesuai
dengan hadits Nabi Muhammad SAW :
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap individu muslim.”
Dengan semakin sering kita
menuntut ilmu, maka kita akan lebih banyak tahu tentang banyak hal. Meski benar
bahwa prioritas dalam menuntut ilmu adalah mempelajari ilmu agama, khususnya
ilmu iman dan islam serta ilmu mengenal Allah. Namun umat Islam tidaklah boleh
begitu saja mengabaikan ilmu-ilmu lainnya. Karena tanpa ilmu, umat Islam hanya
akan menjadi terbelakang dibandingkan dengan umat-umat lain di muka bumi ini.
Imam Hasan Al-Bashri pernah berpesan :
مَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا عِلْمَ
لَهُ وَ مَنْ لَا صَبَرَ لَهُ لَا دِيْنَ لَهُ وَ مَنْ لَا وَرَعَ لَهُ لَا زُلْفَى لَه
Siapa
yang tidak memiliki kesopanan (akhlaq) pertanda ia orang yang tidak berilmu,
siapa yang tidak memiliki kesabaran pertanda ia tidak menghayati agamanya,
siapa yang tidak memiliki kewaspadaan dan sikap kehati-hatian, pertanda ia
tidak memilki keutamaan.
Mari
kita renungkan bersama :
1.
Siapa yang tidak memiliki kesopanan (akhlaq)
pertanda ia orang yang tidak berilmu.
Dunia teknologi informasi yang terus berlari
dengan cepat merupakan udara segar bagi yang mengerti ilmu bernafas dengan
udara teknologi informtika tersebut, tahu dalam memanfaatkan ilmu yang ada dan
tahu cara mendapatkan ilmu di dalamnya. Hal ini tentu berbeda bagi orang-orang
yang sulit menghirup udara teknologi dengan cara yang baik, bahkan menjadi
bagian menyesakkan di dada. Lebih dari itu orang yang tidak berilmu hanya akan
menjadi bagian bahkan sasaran yang “dirusak” dan akan “merusak” lingkungan
sekitarnya, dan orang-orang disekitarnya.
Rusaknya dunia pendidikan bukan karena kurangnya ilmu di dalamnya tapi
kurangnya akhlaq, terkikisnya adab hamba pada Alllah, kurangnya etika pada
Rasulullah SAW, hancurnya etika murid pada guru, buruknya etika anak pada orang
tua, dan etika kaum pada pemimpinnya. Yang sudah barang tentu mayoritas mereka
semua adalah bagian yang ikut terlibat dalam proses pendidikan di negeri ini.
Maka kita memiliki Tugar besar bersama-sama yang belum terselesaikan hingga
detik ini dalam pendidikan, bukan sekedar membaguskan kecerdasan otak dan skil semata,
namun mari bersama-sama memprioritaskan nilai-nilai Akhlaq dari pada sekedar
sampainya ilmu.
Seperti perkataan Abdullah bin Mubarak, ulama sufi; dikutip dari Adabul
‘Âlim wal Muta‘allim karya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari
نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ
مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun)
sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak.” []
Sering kita mendengar bahwa di antara ciri yang membedakan manusia dari
binatang adalah akal atau ilmu. Pernyataan ini tidak keliru. Tapi mesti
digarisbawahi, di atas ilmu ada yang lebih urgen, yakni adab atau akhlak.
Sebab, ilmu seberapapun banyaknya tanpa disertai adab yang baik akan
menjerumuskan manusia dalam perilaku binatang, atau mungkin lebih rendah.
Betapa banyak peperangan, kesewenang-wenangan kekuasaan, kerusakan alam, atau
sejenisnya muncul justru karena ditopang kemajuan ilmu pengetahuan dan
kecanggihan teknologi zaman sekarang. Karena itu, yang paling mendasar
dibutuhkan bagi peradaban manusia adalah adab. Ilmu memang sangat penting, tapi
pondasi berupa akhlak jelas lebih penting. Karena akhlaklah yang menyelamatkan
manusia dari keserakahan, kezaliman, kekejaman, keangkuhan, kebencian, dan
sifat-sifat tercela lainnya.
2.
siapa yang tidak memiliki kesabaran pertanda ia
tidak menghayati agamanya
اِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ,
فَاِنْ صَبَرَ اجْتَبَاهُ وَانْ رَضِيَ اصْطَفَاهُ
jika Allah swt mencintai seseorang maka Ia akan mengujinya. kalau orang
itu sabar, maka Allah swt akan menjadikannya orang mulia (mujtaba). Dan jika ia
ridha (rela) maka Allah swt akan menjadikannya sebagai orang pilihan yang
istimewa (musthafa).
Jika diperhatikan dengan seksama maka sesungguhnya Allah swt mencintai
kita. Hampir semua umat muslim di dunia ini selalu dalam ujian-Nya. Ada yang
diuji dengan kegemerlapan dan kekayaan harta, ada yang diuji dengan kekurangan
uang. Ada yang dicoba dengan jabatan. Ada pula yang diuji dengan kondisi
keluarga. Dan masih banyak lagi ujian-ujian lainnya. Namun demikian, jarang
dari kita yang sadar bahwa segala fenomena di sekitar kita pada hakikatnya
adalah cobaan yang berfungsi sebagai ujian kehidupan. Bagaimanakah seseorang
menyelesaikan ujiannya? Bagaimanakah proses penyelesian itu. Sebagaian dari
kita melenggang menyelesaikan ujian dengan caranya sendiri. Dan sebagian yang
lain menyelesaikan ujian sesuai dengan petunjuk dan aturan syariah. Dan ada
lagi yang malah menikmati ujian itu dengan membiarkannya tanpa ada usaha
penyelesaian.
maka pada hakikatnya cobaan itu tidak hanya berbentuk kesulitan, namun kesenangan dan kebahagiaan juga sebuah ujian, kemasyhuran dan kehinaan juga cobaan.
maka pada hakikatnya cobaan itu tidak hanya berbentuk kesulitan, namun kesenangan dan kebahagiaan juga sebuah ujian, kemasyhuran dan kehinaan juga cobaan.
Karena itu Ibn Abbas berkata sebagaimana dikutip oleh Imam Ghazali dalam
Ihya ulumuddin bahwa sabar menurut al-Qur’an hanya ada tiga macam.
Pertama, sabar kepada kewajiban-kewajiban Allah.
Kedua, sabar menghindar dari larangan Allah swt.
Ketiga, sabar terhadap musibah Allah swt.
dan kesabaran ketiga inilah yang memiliki derajat paling luhur. Dari
ketiga bentuk ini Imam al-Qusyairi dalam kitabnya meyebutkan bahwa sabar ada
dua macam, yaitu sabar terhadap sesuatu yang sedang diupayakan dan sabar
terhadap sesuatu yang ada tanpa diupayakan.
3.
siapa yang tidak memiliki kewaspadaan dan sikap
kehati-hatian, pertanda ia tidak memilki keutamaan.
Berhati-hatilah jika hendak
berbuat sesuatu (makan, minum dan berpakaian misalnya) agar terhindar dari
sesuatu yang dilarang Agama, akhirnya derajat kita menjadi hina di depan
manusia terutama di hadapan Allah Swt.
Mari kita belajar dari kisah
para ulama salaf ;
Imam Ahmad bin Hanbal suatu hari menggadaikan sebuah timba
miliknya kepada seorang tukang sayur di kota Makkah. Hingga ketika sudah merasa
mampu untuk membayar hutangnya, beliau pun pergi ke kota suci itu untuk menebus
kembali timba yang ia gadaikan itu. Tapi di luar dugaan Imam Ahmad, setelah
keduanya bertemu, penjual sayur itu mengeluarkan dua buah timba yang sama
seraya berkata kepada Imam Ahmad, "Ambil saja salah satu dari kedua timba
ini, terserah mau pilih yang mana yang anda suka," kata penjual sayur.
"Aku jadi bingung mana dari dua buah timba ini yang merupakan milik saya.
Ambil saja timba itu dan ini uang dirham untuk membayar hutangku," jawab
Imam Ahmad bin Hanbal.
Begitulah kehati-hatian (wira’i) sikap
Imam Ahmad, rela tak mengambil barang yang sebenarnya menjadi haknya karena
sebab kemiripan tersebut, khawatir jangan-jangan timba yang akan dipilihnya
ternyata bukan miliknya.
Suatu hari Ibrahim bin Adham
ditanya oleh seseorang, "Kenapa Tuan tidak ikut minum air zamzam?”
"Seandainya aku membawa timba sendiri, niscaya aku akan menimba dan
meminumnya", jawab Ibrahim bin Adham.
Lagi-lagi Ibrahim bin Adham
meski mengetahui bahwa meminum air zamzam adalah juga sesuatu yang dianjurkan
oleh syariat, tapi lantaran Ia belum mengetahui secara jelas siapa pemilik
timba yang akan digunakan untuk mengambil air zamzam tersebut, maka Ibrahim bin
Adham lebih memilih untuk tidak meminumnya.
Satu ketika, Imam Hanifah
itu tidak berkenan duduk atau berteduh di terasnya orang yang sedang mempunyai
utang kepada Abu Hanifah. Sebab apa? Alasan Abu Hanifah tidak mau berteduh
adalah:
اِنَّ عِنْدَهُ لِيْ قَرْضًا وَكُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
نَفْعًا فَهُوَ رِبًا. وَجُلُوْسِيْ فِيْ ظِلِّ جِدَارِهِ اِنْتِفَاعٌ بِهِ
Artinya, “Sesunggunya dia
mempunyai hutang kepadaku. Padahal aturannya, setiap hutang-piutang yang
menarik sebuah keuntungan di salah satu pihak, itu termasuk riba. Nah, dudukku
berteduh di bawah naungan orang tersebut berarti saya mengambil sisi manfaat
darinya,”
Masih banyak lagi kisah lainnya, pada prinsipnya kehati-hatian semacam
itu dapat membuat kita mendapatkan keutamaan
Semua pemaparan tadi, akan menjadi hal biasa yang lewat begitu saja,
semoga kita mendapatkan keutamaan untuk bisa istiqamah menjaga hal tersebut,
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal (kebaikan) yang paling
dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.” (HR Muslim)
Keberlanjutan sebuah amal
kebaikan penting karena itu menunjukkan konsistensi dari niat dan keteguhan
dalam berbuat. Di sini kaulitas sebuah perbuatan tidak dinilai dari jenis
kebaikannya tapi kesinambungannya. Amal baik akan melahirkan amal baik
berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik
dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Karena yang kecil tapi
lestaris suatu saat akan menjadi besar, sementara yang besar tapi stagnan bisa
terkikis pelan-pelan.