Salam Silaturahmi dari Guru PAI SMKN 5 Surabaya

Tata Niat, terus Ikhtiyar dan Doa serta Tawakkal Pada Allah Swt

SHOLEH LUAR DALAM

Semangat mengaji tanpa batas

Ikhtiyar dengan AL-Qur'an dan Sholawat

#Dirumahaja|Temukan Kesholehan bersama orang tercinta

SEMANGAT IBADAH DENGAN MENGHARAP RIDHO ALLAH

Karena bisa jadi bukan ibadahmu yang menyelamatkanmu

Follow Us in Instagram

ngaji bersama GPAI Stembaya

# SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI GURU MAPEL PAI SMKN 5 SURABAYA, NGAJI SEPANJANG HAYAT | INFO : SELAMA MASA PEMBELAJARAN DI RUMAH, PEMBELAJARAN PAI DIPUSATKAN DI SITUS RESMI INI, BAGI SISWA-SISWI SMKN 5 SURABAYA SILAHKAN KOORDINASI DENGAN GURU PAI MASING-MASING UNTUK BERSAMA-SAMA MEMBERDAYAKAN SITUS INI DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH # .....

Sabtu, 21 Maret 2020

AKHLAQ DI ATAS ILMU

Hasil gambar untuk akhlaq di atas ilmu
oleh : M. Alfithrah Arufa


Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, tentu saja kita harus mau belajar, mau mengaji dan mau menimba ilmu. Seluruh ilmu yang dapat menjadikan kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah. Baik itu berupa ilmu-ilmu ibadah mahdoh, seperti tata cara sholat, membaca Al-Qur’an, berpuasa dan berhaji. Ataupun ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.

Kata “Ilmu” itu berasal dari Bahasa Arab ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman, yang berarti “Mengerti sesuatu”. Atau juga berasal dari kala ‘allama yang berarti “memberi tanda atau petunjuk” yang berarti pengetahuan. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia Setiap orang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu, hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW :

طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.”
Dengan semakin sering kita menuntut ilmu, maka kita akan lebih banyak tahu tentang banyak hal. Meski benar bahwa prioritas dalam menuntut ilmu adalah mempelajari ilmu agama, khususnya ilmu iman dan islam serta ilmu mengenal Allah. Namun umat Islam tidaklah boleh begitu saja mengabaikan ilmu-ilmu lainnya. Karena tanpa ilmu, umat Islam hanya akan menjadi terbelakang dibandingkan dengan umat-umat lain di muka bumi ini.


Imam Hasan Al-Bashri pernah berpesan :
مَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا عِلْمَ لَهُ وَ مَنْ لَا صَبَرَ لَهُ لَا دِيْنَ لَهُ وَ مَنْ لَا وَرَعَ لَهُ  لَا زُلْفَى لَه
Siapa yang tidak memiliki kesopanan (akhlaq) pertanda ia orang yang tidak berilmu, siapa yang tidak memiliki kesabaran pertanda ia tidak menghayati agamanya, siapa yang tidak memiliki kewaspadaan dan sikap kehati-hatian, pertanda ia tidak memilki keutamaan.

Mari kita renungkan bersama :
1.    Siapa yang tidak memiliki kesopanan (akhlaq) pertanda ia orang yang tidak berilmu.

Dunia teknologi informasi yang terus berlari dengan cepat merupakan udara segar bagi yang mengerti ilmu bernafas dengan udara teknologi informtika tersebut, tahu dalam memanfaatkan ilmu yang ada dan tahu cara mendapatkan ilmu di dalamnya. Hal ini tentu berbeda bagi orang-orang yang sulit menghirup udara teknologi dengan cara yang baik, bahkan menjadi bagian menyesakkan di dada. Lebih dari itu orang yang tidak berilmu hanya akan menjadi bagian bahkan sasaran yang “dirusak” dan akan “merusak” lingkungan sekitarnya, dan orang-orang disekitarnya.
Rusaknya dunia pendidikan bukan karena kurangnya ilmu di dalamnya tapi kurangnya akhlaq, terkikisnya adab hamba pada Alllah, kurangnya etika pada Rasulullah SAW, hancurnya etika murid pada guru, buruknya etika anak pada orang tua, dan etika kaum pada pemimpinnya. Yang sudah barang tentu mayoritas mereka semua adalah bagian yang ikut terlibat dalam proses pendidikan di negeri ini.

Maka kita memiliki Tugar besar bersama-sama yang belum terselesaikan hingga detik ini dalam pendidikan, bukan sekedar membaguskan kecerdasan otak dan skil semata, namun mari bersama-sama memprioritaskan nilai-nilai Akhlaq dari pada sekedar sampainya ilmu.

Seperti perkataan Abdullah bin Mubarak, ulama sufi; dikutip dari Adabul ‘Âlim wal Muta‘allim karya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari

نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak.” []

Sering kita mendengar bahwa di antara ciri yang membedakan manusia dari binatang adalah akal atau ilmu. Pernyataan ini tidak keliru. Tapi mesti digarisbawahi, di atas ilmu ada yang lebih urgen, yakni adab atau akhlak. Sebab, ilmu seberapapun banyaknya tanpa disertai adab yang baik akan menjerumuskan manusia dalam perilaku binatang, atau mungkin lebih rendah. Betapa banyak peperangan, kesewenang-wenangan kekuasaan, kerusakan alam, atau sejenisnya muncul justru karena ditopang kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi zaman sekarang. Karena itu, yang paling mendasar dibutuhkan bagi peradaban manusia adalah adab. Ilmu memang sangat penting, tapi pondasi berupa akhlak jelas lebih penting. Karena akhlaklah yang menyelamatkan manusia dari keserakahan, kezaliman, kekejaman, keangkuhan, kebencian, dan sifat-sifat tercela lainnya.

2.    siapa yang tidak memiliki kesabaran pertanda ia tidak menghayati agamanya

اِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا اِبْتَلَاهُ, فَاِنْ صَبَرَ اجْتَبَاهُ وَانْ رَضِيَ اصْطَفَاهُ
jika Allah swt mencintai seseorang maka Ia akan mengujinya. kalau orang itu sabar, maka Allah swt akan menjadikannya orang mulia (mujtaba). Dan jika ia ridha (rela) maka Allah swt akan menjadikannya sebagai orang pilihan yang istimewa (musthafa).

Jika diperhatikan dengan seksama maka sesungguhnya Allah swt mencintai kita. Hampir semua umat muslim di dunia ini selalu dalam ujian-Nya. Ada yang diuji dengan kegemerlapan dan kekayaan harta, ada yang diuji dengan kekurangan uang. Ada yang dicoba dengan jabatan. Ada pula yang diuji dengan kondisi keluarga. Dan masih banyak lagi ujian-ujian lainnya. Namun demikian, jarang dari kita yang sadar bahwa segala fenomena di sekitar kita pada hakikatnya adalah cobaan yang berfungsi sebagai ujian kehidupan. Bagaimanakah seseorang menyelesaikan ujiannya? Bagaimanakah proses penyelesian itu. Sebagaian dari kita melenggang menyelesaikan ujian dengan caranya sendiri. Dan sebagian yang lain menyelesaikan ujian sesuai dengan petunjuk dan aturan syariah. Dan ada lagi yang malah menikmati ujian itu dengan membiarkannya tanpa ada usaha penyelesaian.

maka pada hakikatnya cobaan itu tidak hanya berbentuk kesulitan, namun kesenangan dan kebahagiaan juga sebuah ujian, kemasyhuran dan kehinaan juga cobaan.
Karena itu Ibn Abbas berkata sebagaimana dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya ulumuddin bahwa sabar menurut al-Qur’an hanya ada tiga macam.
Pertama, sabar kepada kewajiban-kewajiban Allah.
Kedua, sabar menghindar dari larangan Allah swt.
Ketiga, sabar terhadap musibah Allah swt.

dan kesabaran ketiga inilah yang memiliki derajat paling luhur. Dari ketiga bentuk ini Imam al-Qusyairi dalam kitabnya meyebutkan bahwa sabar ada dua macam, yaitu sabar terhadap sesuatu yang sedang diupayakan dan sabar terhadap sesuatu yang ada tanpa diupayakan.

3.    siapa yang tidak memiliki kewaspadaan dan sikap kehati-hatian, pertanda ia tidak memilki keutamaan.

Berhati-hatilah jika hendak berbuat sesuatu (makan, minum dan berpakaian misalnya) agar terhindar dari sesuatu yang dilarang Agama, akhirnya derajat kita menjadi hina di depan manusia terutama di hadapan Allah Swt.

Mari kita belajar dari kisah para ulama salaf ;
Imam Ahmad bin Hanbal suatu hari menggadaikan sebuah timba miliknya kepada seorang tukang sayur di kota Makkah. Hingga ketika sudah merasa mampu untuk membayar hutangnya, beliau pun pergi ke kota suci itu untuk menebus kembali timba yang ia gadaikan itu. Tapi di luar dugaan Imam Ahmad, setelah keduanya bertemu, penjual sayur itu mengeluarkan dua buah timba yang sama seraya berkata kepada Imam Ahmad, "Ambil saja salah satu dari kedua timba ini, terserah mau pilih yang mana yang anda suka," kata penjual sayur. "Aku jadi bingung mana dari dua buah timba ini yang merupakan milik saya. Ambil saja timba itu dan ini uang dirham untuk membayar hutangku," jawab Imam Ahmad bin Hanbal.
Begitulah kehati-hatian (wira’i) sikap Imam Ahmad, rela tak mengambil barang yang sebenarnya menjadi haknya karena sebab kemiripan tersebut, khawatir jangan-jangan timba yang akan dipilihnya ternyata bukan miliknya.

Suatu hari Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, "Kenapa Tuan tidak ikut minum air zamzam?” "Seandainya aku membawa timba sendiri, niscaya aku akan menimba dan meminumnya", jawab Ibrahim bin Adham.

Lagi-lagi Ibrahim bin Adham meski mengetahui bahwa meminum air zamzam adalah juga sesuatu yang dianjurkan oleh syariat, tapi lantaran Ia belum mengetahui secara jelas siapa pemilik timba yang akan digunakan untuk mengambil air zamzam tersebut, maka Ibrahim bin Adham lebih memilih untuk tidak meminumnya.

Satu ketika, Imam Hanifah itu tidak berkenan duduk atau berteduh di terasnya orang yang sedang mempunyai utang kepada Abu Hanifah. Sebab apa? Alasan Abu Hanifah tidak mau berteduh adalah:
اِنَّ عِنْدَهُ لِيْ قَرْضًا وَكُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا. وَجُلُوْسِيْ فِيْ ظِلِّ جِدَارِهِ اِنْتِفَاعٌ بِهِ
Artinya, “Sesunggunya dia mempunyai hutang kepadaku. Padahal aturannya, setiap hutang-piutang yang menarik sebuah keuntungan di salah satu pihak, itu termasuk riba. Nah, dudukku berteduh di bawah naungan orang tersebut berarti saya mengambil sisi manfaat darinya,”

Masih banyak lagi kisah lainnya, pada prinsipnya kehati-hatian semacam itu dapat membuat kita mendapatkan keutamaan

Semua pemaparan tadi, akan menjadi hal biasa yang lewat begitu saja, semoga kita mendapatkan keutamaan untuk bisa istiqamah menjaga hal tersebut,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal (kebaikan) yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.” (HR Muslim)

Keberlanjutan sebuah amal kebaikan penting karena itu menunjukkan konsistensi dari niat dan keteguhan dalam berbuat. Di sini kaulitas sebuah perbuatan tidak dinilai dari jenis kebaikannya tapi kesinambungannya. Amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Karena yang kecil tapi lestaris suatu saat akan menjadi besar, sementara yang besar tapi stagnan bisa terkikis pelan-pelan.

Semoga kita dimudahkan oleh Allah Swt untuk senantiasa mendapatkan Istiqmah membarikan dan mencari Ilmu yang diridhai Allah dengan hasil Akhlaqul Karimah, senaniasa menjadi hamba yang sabar dalam mengharap ridha Allah, serta dikuatkan untuk berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjerat dalam perkara Subhat terlebih lagi perkara Haram.

UMMAT YANG MEWARNAI BUKAN DIWARNAI ZAMAN

Hasil gambar untuk islam dan teknologi
Penyaji : Muhammad Alfithrah Arufa, M.Pd.I

Kebiasaan ummat saat ini

Kita itu sebenarnya ingin menjadi subjek atau termanfaatkan  menjadi obyek, pilihan ada pada kita,namun kadang kita temukan dikalangan manusia Indonesia seringkali nyaman terlihat sebagai obyek dibandingkan menjadi subjek sehingga setiap suasana yang berganti sering kali larut menjadi objek yang diikutkan pada suasana tersebut, sehingga para pakar kemudian menyempulkan adanya penyakit cepat kaget gampang kagum, datang suasana ini, langsung larut di dalamnya. Datang suasana ngetrennya sebuah sinetron tertentu, lalu larut di dalamnya, hilang suasana sinetron yang satu datang sinetron baru dan kita larut lagi di dalamnya, begitu seterusnya, seakan-akan kita ditarik oleh satu subjek tertentu dan kita menjadi obyek/sasaran di dalamnya. ramai istilah-istilah baru yang ngetren kita ikut ramaikan di dalamnya dan dibahas di mana-mana. kenapa kemudian banyak hal-hal tertentu yang mengatur kita. padahal kita sesungguhnya yang pegang remotnya, kenapa kita yang dikuasai TV-nya Maka harusnya kita bisa pilih apa yang kemudian bisa kita rubah, kita hadirkan pada saat itu, sehingga apa yang bisa kita lihat menjadi obyek dalam kehidupan kita.


Prinsip dari Al-Qur'an

Ada prinsip dalam Al-Qur’an bahwa orang Islam itu ketika diturunkan Al-Qur’an disampaikan pada Nabi Muhammad Saw. Islam lebih mengajarkan ummatnya untuk menjadi subjek tertentu dibandingkan larut dalam pusaran suasana yang berubah-ubah. Maka dari itu mari kita mengkaji bersama-sama, apa kaidah yang berlakubaik itu zaman sekarang maupun zaman dulu, bagaimana subjek itu ditampilkan oleh Al-Qur’an sehingga kita yang mengisi zaman bukan zaman yang mengisi kita, jadi di dalam Islam itu tidak berlaku perubahan zaman, yang ada itu orang islam yang mewarnai zama, makanya tidak ada Al-Qur’an sesuai dengan zaman, BUKAN, zaman yang diisi oleh Al-Qur’an.

Dalam QS. 2 : 138 Artinya : Shibghah Allah. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.

Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan. Allah turunkan Shibghah (pewarna) yang mewarnai kehidupan, dan tidak ada yang paling indah yang terbaik yang mewarnai kehidupan selain yang bersumber dari Allah Swt.

Mari kita amati, dulu zaman terus berganti sejak nabi adam As. diturunkan ke bumi mengalami pergantian generasi, sampai datang generasi Nabi Nuh As, sampai ke Nabi Ibrahim As, (abul ambiya’) yang kemudian turun generasi selanjutnya sampai ke Nabi Muhammad Saw. Zaman berganti turun rasul turun penyesuaian setiap zaman yang muncul akan disesuaikan dengan risalah kenabian yang diturunkan kepada para rasul, zaman diikutkan pada risalah, bukan risalah diikutkan pada zaman. Jadi meterannya kemudian mau mengukur kayu, maka lihat ukurannya, kayu ikut meteran atau meteran ikut kayu ?, “kayu yang ikut meterannya” bukan “meteran yang ikut kayu” kalau setiap meteran diikutkan pada kayu maka setiap meteran akan dipotong baik2. Tidak sesuai potong-tidak sesuai potong. Peci ikut kepala atau kepala ikut peci kita? “maka pecinyalah yang menyesuaikan dengan kepala” kepala itu Ushul, peci itu furu’, maka setiap furu’ dalam kehidupan akan menyesuaikan dengan Ushulnya, jadi begitu ada zaman kita sesuaikan dengan tuntunan.

Dari Nabi Muhammad Saw. Setiap ada nabi turun itu pasti ada bimbingan risala, diharapkan setiap zaman yang dilalui akan sesuai dengan petunjuk risalah itu, bahkan sejak nabi Adam turun, missal nabi adam diturunkan bukan sekedar turun tapi ada bimbingan kehidupan di zaman itu. Jadi zajak zaman paling dahulu itu bimbingan diberikan, dan nama umum bimbigan itu sama dengan semua bimbingan namanya “HUDAN

Dalam QS. 2 : 30, Artinya : ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Manusia disebut Basyar dalam Al-Qur'an

Tugas sebagai khalifah fil ardhi (di bumi) bukan fis sama’ (di langit) tedapat Dalam QS. 15 : 28 yang Artinya : dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

Disebut “Basyar” (35 kali disebutkan dalam Al-Qur’an) Basyar adalah sifat makhluk yang menggabungkan 2 sifat antara taqwa dengan Nafsu. Jadi kalau malaikat sifatnya taqwa saja tanpa nafsu, makanya malaikat tidak makan, minum, menikah, tidak punya nafsu, taqwa saja. Maka malaikat tidak pernah bermaksiat pada Allah dan mengerjakan tugas sesuai dengan Tupoksinya masing2. (QS. 66 : 6)

Hal ini tentu beda dengan manusia (Basyar).  Lawan dari taqwa itu Nafsu : makanya sejajar disebutkan. Taqwa disebutkan 115 kali dalam Al-Qur’an, Nafsu disebutkan 115 kali dalam Al-Qur’an. Maka nafsu cenderung membawa sifat lawan dari taqwa. Kalau taqwa baik nafsu sebaliknya. (QS.12 : 53)

Maka misalanya taqwa baik, maka lawannya itu nafsu, kalau di taqwa ada jujur, maka di nafsu ada dusta, kalau di taqwa ada tawadhu’ maka di nafsu ada sombong, kalau di taqwa ada sabar, maka di nafsu ada marah.

Nah makhluk yang diciptakan dengan nafsu saja itu hewan. Hewan banyak nafsunya. Maka perpaduan antara Taqwa dan Nafsu jika dipadukan namanya berubah menjadi Basyar (manusia). Dalam diri kita secara bersamaan kita berpotensi untuk jujur maka disaat bersamaan kita berpotensi untuk dusta, saat potensi untuk taat itu ada maka saat bersaaman potentsi untuk maksiat juga ada. Tercipta makhluk ini diberi nama Adam. (QS.2 : 31)
Adam namanya, diturunkan di bumi dan diberikan bekal (QS. 2 : 38) bakal itulah yang dijadikan warna untuk mengisi kehidupan di bumi.jadi bukan kita diikutkan oleh suasana bumitapi bumi diisi oleh kita.

Jika nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw mendapatkan risalah hanya untuk kaumnya saja, dan terbatas pada wilayah kaumnya saja. Tidak dengan Nabi Muhammad Saw. Karena beliau Lil ‘Alamin, risalah ini sekalipun kau wafat Saw. Risalahnya akan tetap berlaku bagi seluruh alamsampai dengan tiadanya alam. Dan petunjuknya akan berlaku sampai akhir kahidupan dan akan selalu mewarnai kehidupan dalan setiap zaman.


Meneladani semangat pendakwah Islam terdahulu

Mari kita balajar dari masa lalu, setiap tempat yang diisi para sahabat/mujahidin, maka akan terbentuk lingkungan Muslim. Sejarah Peadaban Islam Nusantra salah satu contohnya, kafilah Islam yang akan melakukan ekspedisi ke china, ikut beberpa sahabat di dalamnya, begitu ikut mampirlah kafilah itu di wilayah barus dekat daerah medan, sebagian tapanuli, tahukah apa yang terjadi ? Cuma mampir kemudian melanjutkan ke china, jadinya Nusantara. Indonesia Muslim, Malaysia Muslim, brunai Muslim, Rohinya Muslim, Filipina Selatan Muslim, Thailan selatan Muslim. Bayangkan Cuma mampir muslim.

Begitupula Islam di belahan Negara lainnya. Islam hadir mewarnai bukan diwarnai. Dan luar biasanya tidak ada sebutan peradaban itu dengan menyebutkan nama negaranya, Islam datang ke arab tidak disebut peradaban arab, namun disebut peradaban Islam di  Arab. Masuk ke spanyol, disebut peradaban Islam di spanyol, masuk ke Baghdad di sebut peradaban Islam di Baghdad. Masuk Nusantara di sebut peradaban Islan di Nusantara. Dengan demikian terasalah peran risalah dalam mengisi dan mewarnai  zaman bukan sebaliknya. 

Apakah alasan mendasar perkembangan Islam tersebut, tidak lain karena setiap Ulama dekat dengan Allah membaca Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Bukti lainnya adalah mereka justru mampu menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang mewarnai kehidupan di masanya.

Belajar dari Abbas Bin Firnas (lahir 815 M)

Saat ini kita dapat berpindah tempat dengan cepat menggunakan pesawat terbang. Saat ini kalau ditanyakan siapakah penemu pesawat terbang, kebanyakan anak-anak kita saat ini akan menjawab “Right bersaudara” padahal Righ bersaudara itu menemukan prototype design pesawat terbang hasil warisan dari orang Islam, namanya Abbas Bin Firnas maka dia menemuka prototype-nya setelah mengamati Al-Qur’an (QS. 67 Al-Mulk : 19) 

Artinya : dan Apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? tidak ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha melihat segala sesuatu. (QS. 67 Al-Mulk : 19)

Kenapa bisa terbang bukan karena sayapnya tapi karena Allah bisa menahan kepakan itu bertahan di udara. Kalau Allah tidak perkenankan tidak akan bisa terbang juga, buktinya ada burung baru lahir, sayapnya ada tapi tidak bisa terbang.

Kata Abbas bin Kirnas, berarti kalau Allah berkehendak sayapun bisa terbang seperti burung, syaratnya saya bisa mengepakkan sayap seperti burung. Maka pulang dia ke rumahnya bikin modifikasi sayap burung, masukkan tangan kanannya, masukkan tangan kirinya, mulailah di mengepakkan sayapnya terbang dikit jatuh, balik lagi diperbaiki, coba lagi jatuh, diperbaiki lagi, setelah lebih baik dan bagus naiklah dia di atas bukit, MasyaAllah… dia terbang 20 Meter, kemudian terjatuh dan meninggal.  Tapi meninggalnya bukan sekedar meninggalkan dunia, tapi meninggalkan prototpy design awal pesawat terbang. Bahkan dimusiumkan di melburn disanalah bisa dilihat prototipy Abbas bin Kirnas sedangan mengembangkan sayap sebelah kanan dan kirinya dan lengkap dengan keterangan di bawahnya inilah prototipy pesawat terbang yang dicopy oleh orang barat, jadilah oleh Right bersaudara.

Maka mari kita amati, kita umat Islam bisa maju karena Qur’an, dan Mundur karena meninggalkan Al-Qur’an. Dan orang non muslim yang mengambil kesempatan melihat kelemahhan kita zaman sekarang. 

Inspirasi dari Pror. Dr. Baharudin Jusuf habibi

Belum selesai masalah di dunia penerbangan, pesawat masih menemjukan 1 masalah besar “crack” suatu gesekan di bagian sayap pesawat yang tidak jarang kemudian meledak di udara.  Siapa yang mengatasi itu. Bukan orang Amerika, Bukan Eropa ata Arab. Tapi Orng Islam lagi, hebatnya berasal dari negeri kita dari pare-pare. Pror. Dr. Baharudin Jusuf habibi. Muslim rajin baca Qur’an, sholatnya luar biasa, Puasanya bagus.


Perhatikan Penemu Atom (kimia) oleh Jabir ibnu Hayyan

Bukan John Dilton,  kapan menemukan itu , saat baca Al-Qur’an QS Al-Hadid [57] : 5 – 26. Dianalisa diteliti di lab Mininya. Sampai ketemu atomnya. Sampai memunculkan rumus beri Fe (Ferun) nomor atom 26, dan yang palin stabil adalah 57, dari mana didapatkannya, Surah 57 No 26. Ini juga diambil oleh barat dikembangkan oleh mereka.

Dalam QS 21 : 105 Artinya : dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur[973] sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.
[973] Yang dimaksud dengan Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. dengan demikian Adz Dzikr artinya adalah kitab Taurat.
Walaqad katabna fiz zabur mimba’di dzikri …
  1. Usaha terbaik mendekati Allah
  2. Sosial
Kuncinya adalah, jika kita ingin menaklukkan dunia dengan cara memberikan shibghah (warna) dalam kehidupan dunia, merubah dari lingkup kecil keluarga hingga ke tingkat makro, terlebih dahulu kita belajar menjadi orang yang shaleh. 

BELAJAR DALAM PANDANGAN ISLAM

Hasil gambar untuk belajar dalam islam

oleh : Muhammad Alfithrah Arufa, M.Pd.I*

Bagaimanakah pandangan agama khususnya islam terhadap belajar, memori dan  pengetahuan ? Agaknya tiada satupun agama, termasuk islam yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, memori (akal) dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan oleh manusia.
Namun Islam dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas. kata-kata seperti ya’qiluun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.

Jumat, 20 Maret 2020

BAB 6 KELAS XII - WARISAN : ANTARA NAFSU DAN TAQWA




Hasil gambar untuk WARISAN
MERAIH BERKAH DENGAN MAWARIS

A.      Pengertian Hukum Waris atau Kewarisan
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta  benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang  yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur,yaitu:
1. Orang  mati, yang  disebut  pewaris  atau  yang  mewariskan,
2. Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris,
3. Ahli waris (satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati)
Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah SWT. sebagai  ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah SWT. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah).
Warisan dalam bahasaArab disebut al-mirās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari katawarisa-yarisu-irsan-mirāsan yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang  kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Warisan berdasarkan  pengertian di atas  tidak hanya  terbatas pada  hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non harta benda. Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang  artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang  yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang  terhadap harta kekayaan.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.

B.       Hal-Hal yang Perlu Dilakukan Sebelum Pembagian Harta Waris
1.      Zakat, jika harta waris itu sudah mencapai nisab.
2.      Biaya mengurus jenazah.
3.      Hutang bila ada (QS. An-Nisa {4} : 12).
4.      Wasiat, yaitu pesan sebelum seseorang meninggal (QS. An-Nisa {4} : 11
Syarat wasiat yang dilaksanakan :
a.       Tidak boleh lebih dari 1/3, sesuai hadits nabi saw. berikut : “Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak”Maksudnya boleh berwasiat 1/3 bagian, namun harus diingat itu sudah banyak. Bahkan lanjutan hadits tersebut menjelaskan lebih baik meninggalkan keluarga yang kaya dan berkecukupan dibanding keluarga yang miskin sehingga menjadi beban orang lain.
b.      Tidak boleh wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain ridha.
c.       Tidak untuk maksiat.
5.   Nazar bila ada

C.      Dasar-Dasar Hukum Waris
Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur'an, kemudian As-Sunnah (hadits)dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1.      Al-Qur'an
Dalam Islam saling mewarisi di antara  kaum muslimin hukumnya  adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah SWT. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi orang  laki-laki  ada  hak  bagian  dari harta  peninggalan  ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Ayat-ayat lain tentang mawaris  terdapat dalam  berbagai  surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.
2.      As-Sunnah
a.       Hadits dari Ibnu Mas’ud berikut:
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya : Bersabda Rasulullah saw.: Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (HR. Ahmad).


b.      Hadits dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Ilmu itu ada tiga macamdan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.
3.      Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan  Inpres No. 1
Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam. 

D.      Ketentuan Mawáris dalam Islam
Jumlah ahli waris yang berhak  menerima  harta  warisan dari seseorang yang meninggal  dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh dzawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris dzawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).
bagan warisan

1.      Syarat-syarat Mendapatkan Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a.       Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b.      Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c.       Ahli waris hidup pada saat orang yang member warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayitersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
2.      Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
a.       Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. AllahSWT. Berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...
b.      Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. AllahSWT. Berfirman dalam Q.S.an-Nisa'/4:12: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak rajI selama dalam masa idah dan  bain, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c.       Wala, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: Walaitu milik orang yang memerdekakannya.(HR.al-BukharidanMuslim).

3.      Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan
Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut:
a.       Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagai mana sabda Nabi saw. Yang artinya: Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.(HR.BukhoridanMuslim).
b.      Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw. : Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.(HR.Ibnu Abdil Bar)
c.       Perbudakan. Seorang  budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak  secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisidan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw., yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.
d.      Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullahsaw.: Anak itu dinisbatkan kepada siempunya tempat tidur, dan  pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).
e.       Lian. Anak suami isteriyang melakukan liantidak  dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan

4.      Ketentuan Pembagian Harta Waris
1.      Dzawil Furudh, ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan menurut ketentuan yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an / Al-Hadits, yaitu :
1.      Mendapat 1/2 :
a.       Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa {4} : 11).
b.      Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki.
c.       Saudara perempuan tunggal sekandung (QS. An-Nisa (4) : 175).
d.      Saudara perempuan tunggal sebapak.
e.       Suami bila tidak ada anak/cucu (QS. An-Nisa (4) : 12).
2.      Mendapat 1/4 :
a.       Suami bila ada anak/cucu.
b.      Istri bila tidak ada anak/cucu.
3.      Mendapat 1/8 :
- Istri bila ada. anak/cucu.
4.      Mendapat 2/3 :
a.       Dua orang anak perempuan/lebih bila tidak ada anak/cucu laki (QS. An-Nisa (4) : 11).
b.      Dua orang cucu perempuan/lebih bila tidak ada. anak/cucu Iaki-laki
c.       Dua orang saudara perempuan/lebih sekandung (QS. An-Nisa’ [4] : 176).
d.      Dua orang saudara perempuan/lebih sebapak (QS. An-Nisa176).
5.      Mendapat 1/3,
s  Ibu bila tidak ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} 1
s  Dua orang saudara/lebih, baik laki-laki/perempuan yang seibu (QS. An-Nisa (4) : 11).
6.      Mendapat 1/6 Ibu bila ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} : 11).
a.       Bapak bila ada anak laki-laki/cucu laki-laki.
b.      Nenek bila tidak ada. ibu (hadits).
c.       Cucu perempuan bila bersama anak perempuan tunggal.
d.      Kakek bila tidak ada bapak.
e.       Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan(QS. An-Nisa (4) : 11).
f.       Saudara perempuan seorang/lebih bila bersama seorang saudara perempuan sekandung.
2.      Ahli waris Ashabah yakni perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah yang ketentuannya mendapat sisa atau menghabiskan harta waris dibagi tiga :
a.       Ashabah binafsih ahli waris yang menjadi Ashabah dengan sendirinya. Mereka itu adalah :
s  Anak laki-laki.
s  Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
s  Bapak.
s  Kakek dari bapak.
s  Saudara laki-laki sekandung.
s  Saudara laki-laki sebapak.
s  Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
s  Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.
s  Paman yang sekandung dengan bapak.
s  Paman yang sebapak dengan bapak.
s  Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.
s  Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.
b.      Ashabah bil ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah karena sebab orang lain (ditarik oleh saudara laki-lakinya). Mereka itu adalah :
·         Anak perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.
·         Cucu perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.
·         Saudara perempuan sekandung jika ditarik saudarnya yang laki­laki.
·         Saudara perempuan yang sebapak jika ditarik saudaranya yang laki-laki (QS. An-Nisa {4} : 11).
c.       Ashabah ma’al ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah bila bersama ahli waris wanita lain. Mereka itu adalah :
§  Saudara perempuan sekandung seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.
§  Saudara perempuan sebapak seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.

5.      Hijab dan Mahjub
Dari ke-25 ahli waris, hanya ibu, bapak, suami/istri, anak laki-laki dan perempuan saja yang sudah pasti mendapat bagian waris, sedang ahli waris lainnya belum pasti. Hal ini disebabkan ada ahli waris yang kedudukannya lebih dekat dengan yang meninggal.
Halangan untuk tidak mendapat warisan disebut “Hijab”. orangnya disebut “mahjub”. Hijab ada dua macam yaitu :
a.       Hijab Nuqsan (halangan yang sifatnya mengurangi), seperti suami bila tidak ada anak mendapat 1/2 tapi bila ada anak maka suami mendapat¼.
b.      Hijab Hirman (halangan yang sifatnya penuh/menutupi ahli waris lainnya secara penuh) seperti cucu tidak mendapat bagian bila ada ayahnya.

E.       Menerapkan Syariah Islam dalam Pembagian Warisan
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan  syariat Islam.
1.      Seorang  meninggal  dunia, meninggalkan harta  sebesar  Rp.180.000.000
Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.
Maka hasilnya adalah:
Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah.  Asal masalahnya dari  1/6  dan  1/8  (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri                        :   1/6  x 24            x Rp. 180.000.000      = Rp. 30.000.000,-
Ibu                         :  1/8  x 24             x Rp. 180.000.000      = Rp. 22.500.000,-
Dua anak laki-laki :  24 – (4+3 )         x Rp. 180.000.000      = Rp.127.500.000,-
Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- :  2            = Rp.63.750.000,-

2.      Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seorang meninggal  dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.
Maka hasilnya adalah:
Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3.
Asal masalahnya  dari 1/2 dan  2/3 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan‘aul yaitu dengan menyamakan  penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi:
Suami                                                  : 3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan sekandung   : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-
3.      Penghitungan dengan  menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.
Maka hasilnya adalah:
Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2.
Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2  (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah6. Maka bagian  masing-masing adalah  1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa  harta  waris sebanyak  2/6. Untuk penghitungan dalam  kasus ini harus  menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:
Ibu                                           :  1/4  x   Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,-
Satu Anak Perempuan                        :  3/4  x   Rp. 120.000.000,- = 90.000.000,-

F.       Manfaat dan Hikmah Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:
1.      Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis.
Syariah adalah  sumber  hukum  tertinggi  yang harus ditaati. Orang yang paling  durhaka  adalah  orang  yang  menantang hukum  syariah. Syariah itu  sendiri  diturunkan  untuk  kebaikan  umat  Islam dan  memberi  jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
2.      Manciptakan  keadilan  dan  mencegah konflik pertikaian.  Keadilan yang telah diterapkan,  mencegah munculnya berbagai  konflik dalam keluarga yang  dapat  berujung   pada  tragedi  pertumpahan darah.  Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul  penentangan yang  bersumber dari akal pikiran.
Adapun hikmah waris sebagai berikut :
1.      Untuk menghindari perselisihan yang mungkin terjadi antar sesama ahli waris
2.      Untuk menjalin persaudaraan berdasarkan hak dan kewajiban yang seimbang
3.      Menghindari keserakahan terhadap ahli waris lainnya.
4.      Untuk menghilangkan pilih kasih dari orang tua.
5.      Untuk melindungi hak anak yang masih kecil atau dalam keadaan lemah
G.    Penerapan Perilaku Mulia
Sikap dan perilaku mulia yang harus kita kembangkan sebagai implementasi dari penerapan hukum mawaris antara lain seperti berikut ini.
1.      Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah SWT. yang paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur'an dan hadis Nabi;
2.      Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya.
3.      Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkan, ”Berikanlah sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-Nasai);
4.      Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesanseseorang ketika  masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau  tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal (Q.S.an-Nisa'/4:11);
5.      Ayat-ayat al-Qur'an dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara sistimatis didasarkan atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan. Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung, kemudian kedua orangtua  mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari yang meninggal.
6.      Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban, karena setiap  pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara adil.

gpaismkn5sby. Diberdayakan oleh Blogger.