AL QURAN DAN HADITS ADALAH
PEDOMAN HIDUPKU
A.
Al
Qur’an
1.
Pengertian
Al-Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti
“bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni
dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Artinya :
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu),
jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Al-Qur’an adalah Kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia
bukanlah kata-kata manusia, jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan
berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk
kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Al-Qur’an surat An-Najm ayat
3-4:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya :“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)…”
Al-Qur’an merupakan Mu’jizat
yang artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia
membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Al-Qur’an adalah mu’jizat
terbesar Nabi Muhammad SAW. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan
gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena demikian tingginya bahasa
Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya,
apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai
firman Allah ditantang oleh Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami
wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad SAW
Al-Qur’an merupakan Al-Munazzalu ‘ala
qalbi Muhammad SAW maksudnya ialah :
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak
bisa dinamakan dan disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan
Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara:
1.
Berupa
impian yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh
malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan
perkataan (firman Allah) kepada beliau.
2.
Kadang-kadang
malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk
malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
3.
Kadang-kadang
wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan
beliau.
4.
Kadang-kadang
wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung
dari Hadirat Allah sendiri.
5.
Sekali
wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah
sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf
dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang),
sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan
Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi Al-Qur’an dihafal dan
ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa
dipakai untuk ditulis. Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia
dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang
ditunjukkan oleh Nabi sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab,
pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Maka
ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dalam upaya
pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun
beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan
hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan
disaksikan dua orang saksi.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf
tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib
susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman
segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan
Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan
dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah dinamai “Mushaf Al-Imam” dan
sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah.
Al-Muta’abbadu bitilawatih
Banyak sekali hadits yang
mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada
Allah diantaranya adalah:
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah
akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10
kebajikan. Saya tidak mengatakan kepada kalian bahwa ‘Alif-Laam-Mim’ itu satu
huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’ satu huruf dan ‘Miim’ satu huruf”
(HR. Hakim).
2.
Kandungan
Hukum dalam al-Qur’an
a.
Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah
keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan
terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānul imān),
yaitu iman kepada Allah SWT. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan
qada/qadar Allah SWT.
b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum
ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung
dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah SWT. yang disebut dengan ‘ibadah
mahdhah, maupun
yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu
mahdhah. Ilmu yang mempelajari tata cara
ibadah dinamakan ilmu fikih.
c.
Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang
akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān
menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik
akhlak kepada Allah SWT., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk
Allah SWT. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Allah SWT.– hubungan manusia dengan manusia – dan hubungan
manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia
yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.
B.
Hadits
1.
Pengertian
Hadits
Kata Hadits
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Al-hadits, jamaknya yaitu :
al-hadits, al-haditsan dan al-hudstan. Secara etimologi kata ini memiliki
banyak arti, diantaranya: Al-jadid (barau) lawan dari kata Al-Qadim (yang
lama), dan Al-Khabar yang berart kabar atau berita. Ulama
hadits mendefenisikan hadits sebagai berikut :
كُلُّ مَا
اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ
اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ
Artinya : Segala sesuatu yang
diberitakan Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun
hal ihwal.
Sedangkan Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian
hadits adalah :
كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْاَنِ.
Artinya : Hadis
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, selain Al-Quran
Al-Karim, baik berupa perkataan,perbuatan maupun taqrir Nabi yang perpangku-
paut dengan hukum syara.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan
Rasulullah SAW. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama
lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a.
Sanad,
yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW.
sampai kepada kita sekarang.
b.
Matan,
yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah SAW.
c.
Rawi,
adalah orang yang meriwayatkan hadis.
2.
Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān
a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang
masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang
memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih
bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah SAW. tentang śalat,
baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan
perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)
b.
Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
Seperti
dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa
di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka
ayat tersebut
diperkuat oleh
sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan,
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya
di jalan Allah SWT., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini
dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah SWT. tidak mewajibkan zakat kecuali
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d.
Menetapkan
hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
Maksudnya adalah bahwa jika suatu
masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang
sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara
perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW
:
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra.
Rasulullah SAW. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara
bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan
saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
3. Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya,
hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu :
a.
Hadis
Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis
yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat
maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat
dusta.
b. Hadis
Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat
mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian
banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta.
c. Hadis
Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang
hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak
mencapai derajat mutawattir.
Dilihat dari segi kualitas orang
yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian
berikut.
a. Hadis Śahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya,
sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW., tidak tercela, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan
sebagai sumber hokum dalam beribadah (hujjah).
b. Hadis hasan, adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya
bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śahih,
hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
c. Hadis dha’if, yaitu hadis yang
tidak memenuhi kualitas hadis śahih dan hadis hasan. Para ulama
mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi
dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
d.
4)
Hadis Maudu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah SAW.
atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini
jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
C.
Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtiha dan yang
berartu mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa,
ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan,
menurut istilah, pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum.
Secara terminologis, berijtihad berarti
mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan
hadis, serta turut memegang fungsi
penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan
dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Dasar hukum
dibolehkannya melakukan ijtihad antara lain :
إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” ( Q.S. An-Nisa’ : 102)
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَهُ
سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ : إِذَا حَكَمَ
الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَحَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dan dari Amr bin Ash bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda: “apabila
seorang hakim bersungguh-sungguh dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan
itu sesuai dengan kebenaran berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika
keliru maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).”
Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan
hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya
dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād
tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis.
Ijtihad dapat dilakukan dengan
beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang diantaranya sebagai berikut
:
a. Memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam.
b. Memiliki
pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih,
dan tarikh (sejarah).
c. Memahami
cara merumuskan hukum (istinbat).
d. Memiliki
keluhuran akhlak mulia.
D.
Pembagian
Hukum Islam
Hukum Islam dibagi menjadi dua bagian,
yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah
tuntunan Allah SWT. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Sedangkan hukum wad’i adalah
perintah Allah SWT. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya
sesuatu.
Adapun macam-macam hukum taklifi sebagai berikut.
a.
Wajib (fardhu), yaitu aturan
Allah SWT. yang
harus dikerjakan, dengan konsekuensi
bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan
berakibat dosa. Misalnya perintah
wajib śalat, puasa, zakat, haji
dan sebagainya.
b.
Sunnah (mandub),
yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk
melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa
Senin-Kamis, dan sebagainya.
c.
Haram (tahrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau
perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut ditinggalkan akan mendapatkan
pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan dosa dan hukuman. Misalnya
larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan
berjudi dan sebagainya.
d.
Makruh (Karahah),
yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu
yang dibenci atau
tidak disukai. Konsekuensi hukum
ini adalah jika
dikerjakan tidaklah berdosa,
akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya adalah
mengonsumsi makanan yang
beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
e.
Mubah (al-Ibahah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk
ditinggalkan. Tidaklah berdosa
dan berpahala jika
dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti,
minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.
E.
Prilaku
Mulia Pemahaman terhadap Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijtihad
Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai sumber hukum Islam tergambar
dalam aktivitas sebagai berikut.
1.
Gemar
membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis.
2.
Mengamalkan
ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis dalam kehidupan.
3.
Mencintai
orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran
al-Qur’ān dan Sunnah.
4.
Kritis
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar
tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
5.
Aktif
bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian
agama dan berakhlak mulia.
6.
Berhati-hati
dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu.
7.
Selalu
berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan
menjauhi segala larangan.
Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah
sunnah sebagai upaya menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum
sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar