# SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI GURU MAPEL PAI SMKN 5 SURABAYA, NGAJI SEPANJANG HAYAT | INFO : SELAMA MASA PEMBELAJARAN DI RUMAH, PEMBELAJARAN PAI DIPUSATKAN DI SITUS RESMI INI, BAGI SISWA-SISWI SMKN 5 SURABAYA SILAHKAN KOORDINASI DENGAN GURU PAI MASING-MASING UNTUK BERSAMA-SAMA MEMBERDAYAKAN SITUS INI DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH # .....

Rabu, 18 Maret 2020

BAB 8 KELAS X - QUR'AN DAN HADITS SEBAGAI PEDOMAN

AL QURAN DAN HADITS ADALAH PEDOMAN HIDUPKU

A.    Al Qur’an
1.      Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Artinya :
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.

Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Al-Qur’an adalah Kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia, jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya :“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Al-Qur’an merupakan Mu’jizat yang artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena demikian tingginya bahasa Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah ditantang oleh Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad SAW
Al-Qur’an merupakan Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad SAW maksudnya ialah :
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak bisa dinamakan dan disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara:
1.      Berupa impian yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
2.      Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
3.      Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
4.      Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
5.      Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah sendiri.

Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang:
Hasil gambar untuk al quran dan haditsPada masa Nabi Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah dinamai “Mushaf Al-Imam” dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah.

Al-Muta’abbadu bitilawatih
Banyak sekali hadits yang mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah diantaranya adalah:
Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10 kebajikan. Saya tidak mengatakan kepada kalian bahwa ‘Alif-Laam-Mim’ itu satu huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’ satu huruf dan ‘Miim’ satu huruf” (HR. Hakim).

2.      Kandungan Hukum dalam al-Qur’an
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānul imān), yaitu iman kepada Allah SWT. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah SWT.
b.  Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah SWT. yang disebut dengan ‘ibadah mahdhah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu mahdhah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
c. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah SWT., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah SWT. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah SWT.– hubungan manusia dengan manusia – dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.

B.     Hadits
1.      Pengertian Hadits
Kata Hadits berasal dari  bahasa Arab, yaitu dari kata Al-hadits, jamaknya yaitu : al-hadits, al-haditsan dan al-hudstan. Secara etimologi kata ini memiliki banyak arti, diantaranya: Al-jadid (barau) lawan dari kata Al-Qadim (yang lama), dan Al-Khabar yang berart kabar atau berita. Ulama hadits mendefenisikan hadits sebagai berikut :
كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ
Artinya : Segala sesuatu yang diberitakan Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal.
Sedangkan Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadits adalah :
كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْاَنِ.
Artinya : Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, selain Al-Quran Al-Karim, baik berupa perkataan,perbuatan maupun taqrir Nabi yang perpangku- paut dengan hukum syara.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah SAW. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a.       Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW. sampai kepada kita sekarang.
b.      Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah SAW.
c.       Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadis.
2.      Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān
a.       Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah SAW. tentang śalat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)
b.      Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c.       Menerangkan maksud dan tujuan ayat
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah SWT., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah SWT. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d.      Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW :
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah SAW. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

3.      Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu :
a.       Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
b.      Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta.
c.       Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir.
Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
a.       Hadis Śahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hokum dalam beribadah (hujjah).
b.      Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śahih, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
c.       Hadis dha’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śahih dan hadis hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
d.      4) Hadis Maudu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah SAW. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
C.    Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtiha dan yang berartu mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah, pengertian ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum.
Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Dasar hukum dibolehkannya melakukan ijtihad antara lain :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” ( Q.S. An-Nisa’ : 102)
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ : إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَحَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dan dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan kebenaran berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).”

Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis.
Ijtihad dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seseorang diantaranya sebagai berikut :
a.       Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b.      Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
c.       Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
d.      Memiliki keluhuran akhlak mulia.

D.    Pembagian Hukum Islam
Hukum Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah SWT. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Sedangkan hukum wad’i adalah perintah Allah SWT. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.
Adapun macam-macam hukum taklifi sebagai berikut.
a.       Wajib (fardhu),  yaitu  aturan  Allah  SWT.  yang  harus  dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan  akan  berakibat  dosa. Misalnya  perintah  wajib  śalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
b.      Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
c.       Haram (tahrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut ditinggalkan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan dosa dan hukuman. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi dan sebagainya.
d.      Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya  sesuatu  yang  dibenci  atau  tidak  disukai. Konsekuensi  hukum  ini  adalah  jika  dikerjakan  tidaklah  berdosa,  akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya  adalah  mengonsumsi  makanan  yang  beraroma  tidak  sedap karena zatnya atau sifatnya.
e.       Mubah (al-Ibahah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan.  Tidaklah  berdosa  dan  berpahala  jika  dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

E.     Prilaku Mulia Pemahaman terhadap Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijtihad
Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan  ijtihād sebagai sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.
1.      Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis.
2.      Mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis dalam kehidupan.
3.      Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
4.      Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
5.      Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.
6.      Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu.
7.      Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.
Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar

gpaismkn5sby. Diberdayakan oleh Blogger.