MENGENAL PERSAHABATAN
KH. AHMAD DAHLAN & KH. HASYIM ASY'ARI
(oleh : Ust. Mucahamad Sofyan Hadi, M.Pd.I)
Mungkin belum banyak yang mengetahui jika KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pernah sama-sama berguru kepada ulama yang sama. Di Semarang, beliau bedua pernah berguru kepada KH. Sholeh Darat (Syech Sholeh bin Umar as-Samarani). Di Mekkah, beliau berdua pernah belajar kepada Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
TELADAN
KH. HASYIM ASY'ARI
KH.
Hasyim Asy’ari (1871–1947) adalah pendiri dan pengasuh pertama Pesantren Tebuireng,
Jombang. Beliau lahir pada 14 Februari 1871 di dusun Gedang, desa Tambakrejo,
Jombang, dari keluarga yang memiliki nasab ulama. Sejak kecil beliau sudah di
berikan pelajaran dasar-dasar ilmu agama oleh ayah (KH. Asy'ari) dan kakeknya
dari jalur ibu (KH. Utsman). Mulai usia 15 tahun, Kiai Hasyim Asy’ari belajar
di sejumlah pesantren seperti di Pesantren Wonorejo Jombang, Pesantren Wonokoyo
Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.
Lalu Kiai
Hasyim Asy’ari melanjutkan ke Pesantren Demangan Bangkalan yang diasuh oleh
Syaikhona Kholil. Kemudian, belajar di Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo
yang diasuh Kiai Ya'qub. Di kedua pesantren ini Kiai Hasyim Asy’ari belajar
dalam waktu yang cukup lama.
Pada 1892
Kiai Hasyim Asy’ari ke Mekkah, menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu
digunakannya juga untuk mendalami ilmu. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu hadits.
Pada
1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Beliau
aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang—yaitu bersama rakyat turut merebut
kemerdekaan Indonesia—Kiai Hasyim Asy’ari juga produktif menulis. Beliau
menulis antara pukul 10.00 WIB sampai menjelang Dhuhur. Setiap waktu longgar
beliau membaca kitab, menulis, dan menerima tamu.
KH.
Hasyim Asy’ari teguh memerjuangkan syariat Islam. Beliau konsisten di semua
kesempatan untuk bersikap tegas dalam hal menegakkan kebenaran.
2 GURU
SYECH
SHOLEH BIN UMAR AS-SAMARANI (KIAI SHOLEH DARAT).
Beliau guru Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Sholeh Darat pernah menetap di Mekkah untuk belajar. Saat itu, teman belajarnya antara lain Syech Nawawi Al-Bantani dan Syaikhona Kholil Bangkalan. Di belakang hari, Kiai Sholeh Darat dipercaya menjadi pengajar di Mekkah.
Ketika
Kiai Sholeh Darat kembali ke Indonesia, beliau mengajar di Pesantren Darat
milik KH. Murtadlo, sang mertua. Sejak itu pesantren tersebut berkembang pesat.
Para santri berdatangan dari luar daerah. Disebut Pesantren Darat karena
lembaga pendidikan itu berlokasi di kampung Melayu Darat, Semarang. Dari nama
kampung ini pula bermulanya nama Sholeh Darat.
Di bawah
kepengasuhan Kiai Sholeh Darat, murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama
terkemuka. Selain Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari juga ada Syech Mahfudz
at-Tremasi, asal Tremas Pacitan (seorang Kutubus Sittah dan pemegang sanad
hadist shohih Bukhori dan Muslim) yang kelak menjadi ulama besar yang bermukim
di Mekkah, KH. Idris (pendiri Pesantren Jamsaren, Solo), KH. Sya’ban (ulama
ahli falaq dari Semarang).
Ada pula
Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH. Nahrowi Dalhar Watucongol
(pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang), dan KH. Munawwir (pendiri
Pesantren Krapyak, Yogyakarta). Mbah Kiai Sholeh Darat wafat di Semarang pada
18 Desember 1903.
SYECH
AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI.
Beliau juga guru Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Beliau ulama asal Sumatra Barat yang sangat berpengaruh. Sebagai pembaharu, beliau berhasil membuka cakrawala berfikir dari banyak kalangan. Dari beliau muncul banyak Ulama Besar.
Syech
Ahmad Khatib Minangkabawi lahir pada 26 Mei 1860 di Kota Gadang, Bukittinggi,
Sumatra Barat. Saat kecil beliau belajar dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah
yaitu Syech Abdul Lathif.
Saat
berusia 11 tahun, Syech Ahmad Khatib dibawa sang ayah menunaikan ibadah haji di
Mekkah. Selain beribadah haji beliau juga belajar menuntut ilmu kepada banyak
ulama ahlusunah wal jamaah di jazirah Arab. Di usianya yang menginjak 20 tahun
beliau mulai dikenal masyarakat Mekkah karena akhlaq dan ilmunya. Maka, latar
belakang inilah yang mengantarkan Syech Ahmad Khatib menjadi Imam dan Guru
Besar dalam mazhab Syafi’iyah di Masjid Al-Haram.
Syech
Ahmad Khatib adalah tokoh pembaharu asal Indonesia di penghujung abad 18 dan
awal abad 19. Pemikiran-pemikiran beliau tersebar luas di Indonesia melalui
murid-murid beliau yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan sekaligus
menyempatkan diri belajar kepada beliau.
Setelah
murid-muridnya kembali ke Indonesia, para murid itu lalu menjadi Ulama Besar dan
berpengaruh. Misalnya; KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) dan KH. Hasyim Asy’ari
(1871-1947).
Syech
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada 13 Maret 1916 dalam usia 56
tahun. Beliau banyak meninggalkan kader yang di didik secara langsung.
Kader-kader itu lalu melahirkan juga kader-kader berikutnya, dan seterusnya.
Perhatikanlah,
Kiai Ahmad Dahlan diketahui aktif menggerakkan dakwah dan pendidikan.
Jika Kiai
Ahmad Dahlan mendirikan Organisasi Islam Muhammadiyah pada 1912, maka Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan Organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 1926.
Kiai
Ahmad Dahlan dikenal sangat peduli kepada usaha untuk selalu berpegang kepada
syariat Allah, Kiai Hasyim Asy’ari juga demikian.
Kiai
Ahmad Dahlan memiliki banyak murid dan berhasil mengkader langsung banyak
pejuang bangsa yang tergolong sebagai “Bapak pendiri bangsa”. Misalnya, Ki
Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir, serta Kasman Singodimedjo yang masuk dalam
anggota BPUPKI dan PPKI. Selain itu ada juga Jenderal Besar Soedirman, sang
Jenderal Panglima TNI pertama. Semua adalah kader Muhammadiyah.
Kiai
Hasyim Asy’ari juga demikian, punya banyak murid dan berhasil mengkader banyak
pejuang bangsa. Misalnya, sang singa podium penggertak para penjajah, yaitu
Kiai Wahab Chasbullah, lalu Presiden RI pertama Ir. Soekarno, serta Dr. Soetomo
(Bung Tomo), Bahkan, putra beliau sendiri, Kiai Wahid Hasyim—termasuk pula
“Bapak pendiri bangsa” karena keanggotaannya di BPUPKI dan PPKI, yang kelak
menjadi menteri agama RI pertama. Semua adalah kader Nahdlatul Ulama.
Di era sebelum
kemerdekaan semangat juang Kiai Hasyim Asy'ari melalui Kiai Wahab Chasbullah
dengan orasi-orasinya dimana-mana mempu menggertak dan membuat ciut nyali
penjajah, baik Belanda atau Jepang. Maka dari itu dengan keberanian Kiai Wahab
Chasbullah beliau di juluki “sang singa podium”.
Sementara,
peran besar Kiai Hasyim Asy’ari dalam mempertahankan kemerdekaan, yaitu saat
tentara NICA dengan memboncengi tentara sekutu hendak kembali menjajah
Indonesia, Kiai Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad. Seruan itu
berpengaruh signifikan terhadap semangat perlawanan prajurit, kaum santri dan
rakyat Indonesia. Implikasinya melalui orasi dan pidato-pidato Bung Tomo yang
membakar semangat para pejuang, mereka bisa memenangkan “Pertempuran 10
November 1945” yang legendaris itu.
KISAH
UNIK
Di awal
dakwahnya, Kiai Ahmad Dahlan memulainya di kampung Kauman, Yogyakarta, tempat
asal beliau. Beliau melakukan pembaruan pemahaman keislaman, menyadarkan umat
Islam agar terlepas dari keterpurukan. Tetapi pembelajaran itu banyak mendapat
tantangan. Tidak semua orang di Kauman Yogyakarta setuju dengan dakwah beliau.
Perkembangan
itu tak lepas dari pengamatan seorang pemuda bernama Basyir. Ia warga Kauman
Yogyakarta, yang menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dia murid
Kiai Hasyim Asy’ari. Dia pun “mengadu” kepada sang guru.
Terjadi
perbincangan santri Basyir dengan Kiai Hasyim Asy'ari;
“Kiai,
ada seorang tetangga saya di Kauman Yogyakarta yang baru pulang bermukim dari
Mekkah. Dia menyampaikan sesuatu hal tentang pembaruan ajaran Islam sehingga
terjadi perselisihan di antara masyarakat Kampung Kauman Yogyakarta yang
mayoritas masih kental dengan tradisi” kata Basyir.
“Siapa
nama beliau,?” tanya Kiai Hasyim Asy’ari.
“Ahmad
Dahlan,” jawab si santri.
“Bagaimana
ciri-cirinya,?” tanya Kiai Hasyim Asy’ari.
(Santri
itu kemudian menggambarkan sosok Ahmad Dahlan).
“Oh..!!
itu Kang Mas Darwis (nama asli Kiai Ahmad Dahlan),” seru Kiai Hasyim Asy’ari
dengan perasaan gembira.
“Saya
sudah mengenalnya,” sahut Kiai Hasyim lagi.
“Terus
bagaimana Kiai,?” tanya si santri.
“Tidak
apa-apa, hal yang di sampaikan oleh Kang Mas Darwis (Kiai Ahmad Dahlan) itu ada
dasarnya. Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia,”
demikian penjelasan dan nasihat Kiai Hasyim Asy’ari kepada santrinya itu.
Ternyata,
Kiai Hasyim Asy’ari sudah mengenal dengan baik Kiai Ahmad Dahlan, sebab
keduanya merupakan sahabat karib, teman se-perjuangan, se-majelis dalam
pengajian-pengajian Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekkah. Bahkan, saat
nyantri di Pondoknya Kiai Sholeh Darat Semarang, Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai
Hasyim Asy’ari bukan hanya teman mengaji saja, tetapi keduanya malah tinggal di
kamar yang sama selama dua tahun.
Usia
mereka terpaut dua tahun, Kiai Ahmad Dahlan lebih tua dari Kiai Hasyim Asy'ari.
Maka dari
itu Kiai Ahmad Dahlan memanggil Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan “DiMas
Hasyim”. Sebaliknya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ahmad Dahlan dengan
sebutan “KangMas Darwis”.
Di
keseharian, mereka saling membantu. Misal, saling menyiapkan makanan untuk
mereka berdua. Kadang yang menyiapkan Kiai Ahmad Dahlan dan kadang Kiai Hasyim
Asy’ari. Bahkan sering juga mereka makan dari satu nampan yang sama, berdua.
Suka-duka mereka lalui bersama.
SOSOK
BASYIR
Kembali
ke santri asal Kauman, Yogyakarta yang “mengadu” ke Kiai Hasyim Asy’ari itu.
Nama lengkapnya, Muhammad Basyir Mahfudz. Dia, putra Kiai Mahfudz dari Kauman,
Yogyakarta.
Basyir
patuh terhadap petuah Kiai Hasyim Asy’ari, sang guru. Ia bertekad untuk
membantu perjuangan Kiai Ahmad Dahlan ketika selesai berguru dari Pondok
Pesantren Tebuireng.
Sayang, ketikaBasyir pulang ke Kauman – Yogyakarta setelah usai nyantri dari Tebuireng, Kiai Ahmad Dahlan sudah wafat. Tinggal warisannya, Muhammadiyah. Atas kenyataan itu, Basyir bertekad aktif di Muhammadiyah dan ikut mengembangkannya. Niat itu diwujudkannya. Basyir terakhir aktif di PP Muhammadiyah, di Majelis Tarjih, yang saat itu Ketua Majelis Tarjih-nya adalah KH. Wardan Diponingrat.
Tak hanya
itu. Basyir mendidik dan mengkader anak-anaknya untuk aktif juga di
Muhammadiyah. Di kemudian hari, ada salah satu anaknya yang juga aktif di
Majelis Tarjih. Bahkan, putra sulungnya itu—Ahmad Azhar Basyir—kemudian
mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1990-1995.
SALING
MENGUATKAN
KH. Hasyim Asy’ari juga telah lama wafat, yaitu pada tahun 1947. Tapi, dari keduanya kita akan mendapat ilmu untuk waktu yang sangat panjang.
Mereka telah mewariskan banyak hal, antara lain: Muhammadiyah dan NU, semangat mencari ilmu yang tinggi, serta spirit persahabatan yang saling mengasihi dan menguatkan.
Wallahu A'lam...
0 komentar:
Posting Komentar