SEJARAH ILMU FIQH
(Oleh. Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I)
Imam Abdul Mu’ali al-Juwaini (w. 1085 M), guru besar
Madrasah Nizamiyyah, atau biasa disebut Imam Al-Haramain, dalam Al-Waraqat
mendefinisikan fiqih sebagai berikut,
معرفة الأحكام الشرعية التي
طريقها الإجتهاد
Artinya:
“Mengetahui hukum-hukum syari’at melalui metode ijtihad.” (Syarah Mahalli li
Al-Waraqat, hal. 26)
Dari definisi di atas, Imam Jalaluddin al-Mahalli mencontohkan, diantanya: mengetahui hukum wajib dalam niat wudhu, hukum sunah pada shalat witir, niat malam hari untuk berpuasa Ramadhan adalah syarat wajib, dan lain sebagainya. Semua hukum tersebut diketahui dengan jalan ijtihad oleh para ulama. Lebih detail lagi, Imam Mahalli dalam Syarah Jam’ul Jawai’, mendefinisikan Fiqih sebagai berikut,
(و الفقه العلم
بالآ حكام) أي بجميع النسب التامة (الشرعية) أي المأخوذة من الشرع المبعوث به
النبي الكريم
(العملية) أي
المتعلقة بكيفية عمل قلبي أ غيره كالعلم بأن النية في الوضوء واجبة و أن الوتر
مندوب.
(المكتسب) ذلك
العلم من أدلنها التفصيلية للأحكام.
Artinya:
“Fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syari’at Nabi Muhammad saw yang bersifat
aplikatif, baik berkaitan dengan pekerjaan hati atau fisik, seperti mengetahui
hukum wajib atas niat wudhu dan hukum sunah atas shalat witir. Pengetahuan itu
harus diusahakan (bukan otomatis) melalui dalil-dalil parsial”
(lihat Syarah Imam Mahalli atas Jam’ul Jawami, hal. 71-74)
Dalam catatan sejarah hukum Islam, fiqih memiliki
sejarah yang panjang. Dr Abdul Wahab Khallaf (w. 1956 M) membagi periodisasi
perkembangan fiqih dalam tiga babak. Periode pertama, saat Nabi Muhammad
saw masih hidup, kedua pada masa sahabat saat Nabi sudah tiada, dan ketiga
pada masa tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap periode
memiliki dinamikanya masing-masing.
Periode pertama adalah pada masa Nabi Muhammad
SAW masih hidup. Pada dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah terbentuk
sejak zaman Rasulullah, sejak pertama kali Islam itu hadir; karena Islam
sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah, akhlak, dan hukum atas perbuatan
manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang menjadi satu-satunya rujukan
fatwa umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri dari hukum Allah dan
rasul-Nya dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, tidak mungkin terjadi
selisih pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu pemegang otoritas
hukum, yaitu Rasulullah SAW.
Periode kedua adalah pada masa sahabat Nabi.
Rasulullah sudah tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial akan terus
berkembang dan tentunya hukum Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada periode
ini banyak persoalan-persoalan agama muncul yang tidak ditemui pada saat Nabi SAW
masih hidup. Otomatis, para sahabat melakukan ijtihad, memutuskan
perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at, dengan tetap mengacu pada
hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat itu terdiri dari hukum
Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang bersumber dari
Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga belum ada
kodifikasi fiqih secara khusus.
Periode ketiga, yaitu periode tabi’in, tabi’ut
tabi’in, dan para imam mujtahid (abad kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode
ini bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor perkembangan hukum fiqih
semakin kompleks, tetapi juga karena semakin luasnya kekuasaan Islam dan
banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan pluralitas sosio kultur dan
geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim, terutama para imam
mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam mujtahid
untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua peristiwa
terkait yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi
mereka. Ketetapan hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode
ini.
Pada periode ketiga ini, hukum-hukum fiqih terdiri
dari hukum Allah dan rasul-Nya, fatwa dan putusan para sahabat, fatwa imam
mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari al-Qur’an, hadits,
ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid. Barulah pada periode ini
terjadi kodifikasi hukum Islam yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795
M) dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwattha’ atas permintaan Khalifah
al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua Bani Abbasiyah). Kitab ini berisi
hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in, serta tabi’ut tabi’in yang sahih
(valid) menurut Imam Malik. Lalu kitab ini dijadikan landasan hukum fiqih oleh
penduduk Hijaz.
Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M), pengikut mazhab Imam
Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih yang kemudian menjadi
rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani (w.
189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah, menyusun kitab Zahir
ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh Imam Syamsul A’immah
al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth, yang menjadi rujukan fiqih
mazhab Hanafi.
Setelah itu disusul oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’
(w. 820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab fiqih yang diberi
judul Al-Umm di Mesir. Dan kemudian Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih
mazhab Syafi’i.
0 komentar:
Posting Komentar