RELASI GURU MURID
Belajar dari Kisah Rasulullah Musa 'Alaihimassalam &Nabiyullah Khidir 'Alaihimassalam
(oleh : Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I)
Ketika
Rasulullah Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar
diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk
menjaga tata krama seorang murid, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran
tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang,
dan tidak memprotes gurunya.
Rasulullah Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin
calon guru yang baru dijumpainya itu mengerti kalau dia tidak akan sanggup
untuk bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, engkau akan mendapati
aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).
Akhirnya
Musa diterima sebagai murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa
dari gurunya ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
(QS. Al-Kahfi: 70).
Keduanya
berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat
di pinggir pantai. Di pantai itu sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh
bagi Musa, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa
spontan menyatakan keberatannya, “Mengapa kamu melubangi perahu itu, yang
akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).
Pertanyaan
Rasulullah Musa yang walaupun diyakini secara
akal normal tidak ada yang salah, namun sang guru menganggap sikap batin
yang mendorong Rasulullah Musa mengeluarkan pertanyaan
dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu
ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran, “Bukankah aku
telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan
aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).
Menyadari
kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Rasulullah Musa memohon maaf kepada gurunya,
“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani
aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).
Apa
yang dialami Rasulullah Musa
mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan Tuhan
untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam alaihissalam dari jenis
manusia. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka
berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman:
‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS.
Al-Baqarah: 30).
Menanggapi
tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon ampun
terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32).
Seandainya
Rasulullah Musa menyadari dan belajar apa
ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari gurunya.
Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia besar yang
terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan (kosmologi spiritual
ibn arabi).
Permohonan
sang murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua
terjadi bagi Rasulullah Musa
ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain dan gurunya
tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di antaranya.
Alangkah
kagetnya Musa dan spontan memprotes dan menyatakan penyesalan perbuatan gurunya
dengan mengatakan, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”
(QS. Al-Kahfi: 74). Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang
sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).
Musa
berusaha untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya
dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu
sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya, sang
guru mengizinkan Rasulullah Musa mengikutinya.
Perjalanan
keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Rasulullah Musa mulai melihat keraguan di
dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah ia tidak
salah pilih guru. Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua.
Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini. Rasulullah Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan
mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Rasulullah Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.
Alangkah
kagetnya Rasulullah Musa
setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk
meninggalkan tempat itu. Rasulullah Musa akhirnya
bertanya untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini
setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.
Mendengarkan
pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Rasulullah Musa pun kelihatannya tidak
keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan
yang kontroversial.
Namun
sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada
muridnya. “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan tujuanku merusak perahu itu karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap perahu (yang bagus).” (QS. Al-Kahfi: 79).
Sedangkan,
pembunuhan anak kecil dijelaskan bahwa kelak anak itu akan tumbuh dewasa
menjadi anak yang durhaka dan menyusahkan orangtuanya “Dan kami menghendaki
supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 81).
Penjelasan
terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu
adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS.
Al-Kahfi: 82).
Rasulullah Musa hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya
meninggalkannya. Akhirnya Rasulullah Musa sadar
bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan formal yang dilakukan
dengan cara-cara pengajaran yang formal.
Belajar
kearifan ternyata tidak harus menunggu memiliki media yang lengkap. Pelajaran
kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya
napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati.
Selamat belajar dan mengajar ………..
0 komentar:
Posting Komentar