Cerahkan
Nurani dengan Saling Menasihati
A. Perintah
Saling Menasihati
Saling mengingatkan dalam hal
kebaikan adalah kewajiban sesama muslim. Dalam Islam, mengingatkan orang lain
secara lisan semacam itu biasa disebut dengan nasihat, wasiat, tausiyah,
mau’idzah, dan tadzkirah (peringatan). Istilah umumnya adalah ceramah. Kegiatan menyampaikan
taushiyah demikian disebut tabligh (menyampaikan), sehinga istilah Tablig Akbar
itu maksudnya adalah acara ceramah yang
dikemas secara meriah dan dihadiri oleh banyak jamaah. Semua kegiatan itu adalah bagian dari dakwah,
yaitu dakwah billisan (secara lisan), karena hanya berupa ceramah, sedangkan
dakwah bukan hanya melalui lisan. Para penceramah agama itu biasa disebut mubaligh (juru tablig) atau Da'i (juru dakwah).
Kesalahan dan kealpaan dapat terjadi
pada siapa saja, baik mubaligh atau jamaah. Oleh karena itu, kewajiban
berdakwah bukan hanya bagi orang yang bisa ceramah saja, melainkan bagi seluruh
umat Islam, “sampaikan dariku meski hanya satu ayat”, begitu arti sabda nabi
terkait dengan kewajiban dakwah. Terus bagaimana caranya? Mengingatkan saudara
yang berbuat salah atau lupa tidak harus dengan berceramah, apalagi kepada
ustadz yang berceramah, cukup sampaikan seperlunya.
Dari kewajiban dakwah itulah lahir
istilah saling berwasiat atau saling menasihati. Allah SWT. menegaskan
perintah tersebut, salah satunya surat
al-‘Ashr: “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali
orang-orang yang beriman,
beramal soleh, dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling
menasihati dengan kesabaran” (Q.S. al’Asr/103:1-3).
Apa yang disampaikan dalam memberi
nasihat atau tausiyah? Materi pertama yag harus disampaikan dalam berdakwah adalah
ajakan untuk menyembah Tuhan Yang Esa, yaitu Allah SWT..
Perhatikan nasihat Luqman kepada
anaknya pada firman Allah dalam Q.S.Luqman/31:13-14 berikut :
1. Baca dengan tartil ayat al-Qur'an dan
terjemahnya yang mengandung perintah tentang saling menasihati
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ
وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ.
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, diwaktu
ia memberi pelajaran kepadanya: “Haianakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang
besar”
Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah
dan menyapihny adalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Kudan kepada kedua orang
tuamu,hanya kepada-Kulah
kembalimu”
(Q.S.Luqman/31:13-14)
2. Penjelasan ayat
Dalam ayat diatas
Allah SWT. Menginformasikan tentang wasiat Luqman kepada anaknya. Wasiat pertama
adalah agar menyembah Allah SWT. Yang Maha
Esa tanpa menyekutukan-Nya dengansesuatu apa pun. Luqman memperingatkan
bahwa tindakan syirik adalah
bentuk kezaliman terbesar. Al-Bukhari
meriwayatkan
dari Abdullah, dia berkata,
“ketikaturun
ayat: ‘orang-orang
yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan
mereka dengan kezaliman’, hal itu terasa amat berat bagi para sahabat
Rasulullah saw. dan bertanya: ‘siapakah di antara kami yang tidak mencampur
keimanannya dengan kezaliman?’,Rasulullah menjawab:‘maksudnya bukan
begitu, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: ‘Hai anakku janganlah
kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang
besar’. (HR. Muslim).
Kemudian
nasihat untuk menyembah Allah SWT. dibarengkan dengan perintah untuk berbuat
baik kepada orangtua, “dan Kami wasaitkan kepada manusia supaya mereka
berbuat baik kepada kedua rang tua, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah lemah”. Firman-Nya, “dan menyapihnya selama dua
tahun”, yaitu mendidik dan menyusuinya.
Allah SWT.
menyebut-nyebut penderitaan, kepayahan, dan kerepotan ibu dalam mendidik anak
siang dan malam, untuk mengingatkannya tentang Ihsan (kebaikan dan ketulusan)
seorang ibu kepada anak-anaknya. Oleh karena itu Allah SWT. berfirman,”bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.
Dalam banyak hadisnya Rasulullah saw. Banyak menyampaikan perintah
untuk saling menasihati dan berdakwah untukmengubah kemungkaran
menjadi kondisi yang sejalan dengan
ajaran Islam. Diantaranya dalam
hadis berikut:
Artinya:
“Dari
Abu Said al-Khudri
ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang
siapa diantara kalian melihat sesuatu kemungkaran, maka
hendaklah mengubahnya
dengan tangannya, jika
mampu, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang sedemikian itu adalah selemah-lemahnya
iman" (HR.Muslim)
Dalam hadis
di atas terdapat perintah secara tegas untuk berdakwah. Kemungkaran harus
diubah menjadi ma’ruf. Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa jika memungkinkan,
kita harus mengubahnya dengan tangan,yaitu
kekuasaan kita. Merubah kemungkaran dengan sarana kekuasaan adalah wewenang penguasa. Oleh karena itu, penguasa
dan pemimpinyang kita pilih idealnya adalah orang-orang yang cenderung kepada
kebaikan dan kebenaran, sehingga ketika
melihat kemungkaran, nuraninya tergerak untuk memperbaikinya, bukan memperkeruh
suasana dengan berbuat kemungkaran. Tahapan ini dipandang paling efektif dalam
mengubah kemungkaran, karena yang bergerak adalah aparat dan kebijakan.
Tahap
selanjutnya, jika tidak mampu mengubah dengan tangan, maka dengan lisannya.
Itulah dakwahbillisan (ceramah dan nasihat lisan). Tahap ini sangat
banyak dilakukan para dai, hanya memang tidak terlihat secara jelas
efektivitasnya dalam merubah kemungkaran. Penyebabnya bisa dari banyak faktor,
di antaranya yang perlu menjadi bahan introspeksi para dai ada faktor
“keikhlasan” dan “keteladanan”.
Tahap
terakhir dalam hadis di atas adalah mengubah dengan hati, dengan mengingkari
dalam hati bahwa yang mungkar tetaplah mungkar sambil berdoa kepada Allah SWT. agar kondisi segera
berubah. Tahap ini dipandang sebagai indikator iman yang paling lemah, karena
tidak mampu melakukan dengan kekuasaan dan tidak pula dengan lisannya.
Hadis di atas
menyiratkan perlunya kekuatan yang dimiliki oleh umat Islam supaya dapat
mengubah kondisi melalui kekuasaannya. Dalam konteks kehidupan berbangsa di sebuah negara yang multiagama,
setidaknya kita harus konsisten dengan
nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan demi tegaknya pilar-pilar kebenaran
untuk kepentingan bersama. Hal ini dapat terwujud jika para penguasa dan
pemimpinnya cenderung dan peduli kepada perubahan menuju kondisi yang lebih
baik, sesuai dengan kemajemukan yang ada.
B. Adab
dan Metoda Menyampaikan Nasihat
(Dakwah)
Menyampaikan nasihat adalah bagian dari kerja dakwah.
Dalam berdakwah tidak boleh ada yang ditutup-tutupi (disembunyikan), semua
kebenaran harus disampaikan, walaupun mungkin akan berdampak buruk bagi yang
menyampaikan, seperti sabda Rasulullah
saw.,”Katakanlah yang benar walaupun terasa pahit”. Namun demikian, semua
pekerjaan harus dikerjakan dengan cara yang terbaik. Begitu juga dengan dakwah.
Memberikan nasihat kepada orang lain harus memperhatikan banyak aspek,
terutama objek dakwah, yaitu orang yang
akan kita beri nasihat (umat).
Orang
yang akan kita nasihati adalah manusia yang memiliki beragam adat, budaya,
kecenderungan, pengetahuan, dan latar belakang sosial lainnya. Semua itu
membuat manusia menjadi makhluk unik yang harus didekati dengan cara yang
berbeda-beda juga.Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan hasil dakwah dan
meminimalisasi dampak buruknya, perlu diperhatikan adab berikut ini.
1. Disampaikan dengan cara santun dan lemah
lembut;
Dalam banyak ayat Allah SWT.
mengajarkan kita agar menyampaikan dakwah atau
nasihat kepada orang lain dengan cara santun dan lemah lembut, di antaranya
dalam ayat berikut.
”Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali
'Imran/3:159)
Ayat di atas menunjukan bahwa dalam
memberikan nasihat janganlah kita berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling
benar, apalagi memojokkan, mereka pasti tidak akan bersimpati kepada kita
bahkan tidak mau lagi menggubris nasihat kita. Lebih lanjut terkait dengan strategi dakwah, simaklah ayat
berikut!
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
(Q.S. An-Nahl/16:125).
Dalam ayat di atas terdapat
beberapa adab bertausiyah atau
berdakwah, seperti yang disebutkan di
bawah ini :
a. Disampaikan dengan hikmah (bijak);
b. Jika berbentuk nasihat lisan, hendaknya disampaikan
dengan cara yang baik;
c. Jika harus bertukar argumen (debat,
diskusi, atau dialog), hendaknya dilakukan dengan cara terbaik;
d. Menghargai perbedaan. Ketika kita
bertukar argumen dengan orang yang kita nasihati, kemudian tidak terjadi titik
temu, hargai pendapat mereka, dan tidak semestinya kita memaksa mereka untuk tunduk kepada
pendapat dan ajakan kita. Dakwah adalah
mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, karena Rasulullah pun
dilarang memaksa,”Kamu bukanlah seorang
pemaksa bagi mereka”
(Q.S. al- Ghasyiyah/88:22).
2. Memperhatikan tingkat
pendidikan.
Tingkat pendidikan dan kemampuan
berpikir objek dakwah harus
menjadi pertimbangan dalam menyampaikan dakwah billisan,
Rasulullah bersabda: “Berbicaralah
dengan manusia sesuai dengan kadarakal (daya pikir) mereka”(H.R.Dailami).
3. Menggunakan bahasa
yang sesuai.
Bahasa yang digunakan hendaknya bahasa yang dapat dipahami dan sesuai dengan
tingkat intelektual objek dakwah.
Ketika berbicara di hadapan
kalangan masyarakat
awam,
gunakan bahasa yang berbeda dengan yang
digunakan untuk berceramah dihadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya.
4. Memperhatikan budaya.
Dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung. Pepatah
itudiperlukan dalam
dunia dakwah. Seorang dai yang
tidak menghargai
budaya setempat, bukan
saja sulit mendapat simpati, tetapi bisa jadi tidak punya kesempatan
berdakwah lagi ketika
masyarakat tersinggung dan
merasa tidak dihargai budayanya.
Menghargai budaya bukan
berarti melebur ke dalam kesesatan
yang ada dalam sebuah masyarakat, akan
tetapi berdakwah dengan
cerdas dan cermat dalam memilih pendekatan dan cara.
Mengubah budaya yang mengandung
kemungkaran harus tetap
dilakukan, tetapi lagi-lagi
adalah “cara” yang digunakan harus dipertimbangkan
masak-masak.
Disinilah
para dai dituntut untuk memiliki wawasan
seluas-luasnya supaya mampu menyikapi setiap permasalahan dengan santun dan bijak.
5. Memperhatikan tingkat sosial-ekonomi.
Kondisi ekonomi
masyarakat sasaran
kita berdakwah merupakan hal yang harus diperhatikan oleh paradai.
Jika secara ekonomi mereka
termasuk dalam kategori mustahiq
(orang yang berhak menerima zakat) karena
miskin,
jangan didominasi materi tentang kewajiban zakat, tetapi motivasi
lagi menjadi mustahiq, tetapi
menjadi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) karena sudah mandiri secara
ekonomi.
6. Memperhatikan usia objek dakwah.
Saling menyayangi dan saling
menghormati berlaku dalam segala urusan, apalagi dalam urusan dakwah. Pada prinsipnya semua
orang punya potensi untuk menerima nasihat dan dakwah kita, tetapi adab kita
dalam menasihati orangtua tidak bisa
disamakan dengan menasihati teman sebaya atau orang yang lebih muda.
Jika ini tidak diperhatikan, orangtua yang kita harap mendukung dakwah kita
dalam sebuah kampung misalnya, justru akan menjadi hambatan karena mereka
tersinggung dangan cara kita.
7. Yakin dan Optimis.
Seorang dai harus yakin bahwa yang
disampaikan adalah nasihat yang bersumber dari Yang Maha Benar, meskipun
disampaikan sesuai dengan yang dipahaminya, dan penuh harap bahwa kebenaran
yang disampaikan nantinya akan tegak menggantikan kebatilan. Firman Allah SWT.:
….(apa yang telah kami
ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dariTuhanmu, karena itu
janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu.
(Q.S.Ali 'Imran/3:60).
Dan katakanlah: “yang
benar telah datang dan yang bathil telah lenyap” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap. (Q.S. al- Isra/17:81).
8. Menjalin kerja sama.
Dakwah adalah kerja besar
yang tidak mungkin dipanggul
sendiri oleh seorang dai atau banyak orang secara mandiri dan terlepas dari yang lain. Di antara sesama dai perlu ada jaringan dakwah yang
terorganisasi dengan baik. Bukan hanya sesama dai, kerja sama juga perlu
dijalin dengan pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan, dan juga dengan
semua lapisan masyarakat. Mereka harus bahu membahu dan saling menopang dalam
menjalankan misi mulia ini, menegakkan “amar ma’ruf nahi munkar”.
9. Konsekuen dengan perkataan
(keteladanan).
Apa yang kita katakan seharusnya
sama dengan apa yang kita lakukan. Dengan keteladanan kita berharap orang yang
kita nasihati mau mengikuti dengan suka rela. Jika kita belum dapat melakukan
kebaikan seperti yang kita katakan, jangan kemudian berhenti berdakwah, tapi jadikan nasihat- nasihat yang kita sampaikan itu sebagai
pemicu dan motivasi agar kita
segera menjadi contoh baik bagi obyek dakwah.
C. Hikmah dan Manfaat Nasihat
Tegaknya
“al-Amru bi al-ma'rif wa an-nahyu an-munkar” (saling menasihati untuk
berbuat yang makruf dan mencegah kemungkaran) adalah jaminan kehidupan yang
layak di dunia dan akhirat. Jika hal tersebut ditegakkan di segala aspek
kehidupan, setidaknya kita akan mendapatkan manfaat dan hikmah berikut.
1. Nasihat dari orang lain merupakan
kontrol sosial pada saat kita terlena dan tidak mampu melakukan introspeksi
(muhasabah).
2. Mengingatkan diri sendiri untuk
konsekuen (jika kita sebagai pemberi
nasihat).
3. Selalu menjaga kebersihan hati dan
pikiran dari niat dan rencana
kotor/tercela.
4. Terjalinnya persatuan dan persaudaraan
antara pemerintah dan semua lapisan masyarakat.
5. Terjaganya lingkungan dari kemaksiatan
dan penyakit sosial.
6. Terciptanya keadilan, keamanan,
ketenteraman, dan kedamaian dalam masyarakat.
7. Mendapat balasan kebaikan dari Allah
SWT., di dunia dan akhirat.
D. Perilaku Mulia Penerapan Saling
Menasihati
Sikap dan perilaku terpuji yang harus dikembangkan terkait dengan tema
saling menasihati ialah sebagai berikut:
1. Menjadikan masalah tauhid dan larangan
syirik sebagai materi utama dalam menyampaikan nasihat.
2. Mengingatkan orang yang
kita nasihati (umat) tentang besarnya jasa-jasa orangtua kepada anak-anaknya,
terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat dengan
penuh kasih.
3. Menyampaikan nasihat dengan cara-cara
yang santun dan beradab.
4. Menerima nasihat dengan lapang dada,
dari manapun nasihat itu datang;
5. Menjalin silaturrahim dengan sesama dai
dan umat.
6. Saling membantu dan bahu membahu dalam
memecahkan masalah umat.
7. Selalu berupaya untuk menegakkan
kebenaran sesuai dengan kemampuan.
8. Selalu meningkatkan wawasan terkait
dengan materi dakwah ataupun strateginya
9. Berusaha merubah kemungkaran yang ada di
lingkungan sekitar.
10. Berusaha konsekuen dengan semua nasihat
yang kita sampaikan.
11. Berusaha menjadi figur yang layak
diteladani dalam segala yang baik.
12. Menjadikan kekuasaan
sebagai alat untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar untuk semua golongan
*Dikutib dari buku portofoliio MGMP PAI SMK Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar