MERAIH BERKAH DENGAN MAWARIS
A.
Pengertian Hukum
Waris atau Kewarisan
Mawaris merupakan serangkaian kejadian
mengenai pengalihan pemilikan harta
benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk
terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur,yaitu:
2. Harta milik orang yang mati atau
orang yang mati meninggalkan harta waris,
3. Ahli waris (satu atau beberapa
orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati)
Ilmu mawaris adalah ilmu yang
diberikan status hukum oleh Allah SWT. sebagai
ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah SWT. dalam
firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama
mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah).
Warisan dalam bahasaArab disebut
al-mirās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari katawarisa-yarisu-irsan-mirāsan
yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non harta benda.
Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S.
an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam
hadis Nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya
ulama itu adalah pewaris para Nabi.”
Adapun menurut istilah, warisan
adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar’i.
Definisi lain menyebutkan bahwa
warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu
atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan
ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah
orang yang berhak menerima warisan, bagian
masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan ketiga masalah tersebut.
B.
Hal-Hal yang Perlu Dilakukan
Sebelum Pembagian Harta Waris
1. Zakat, jika harta waris itu sudah
mencapai nisab.
2. Biaya mengurus jenazah.
3. Hutang bila ada (QS. An-Nisa {4} : 12).
4. Wasiat, yaitu pesan sebelum seseorang
meninggal (QS. An-Nisa {4} : 11
Syarat
wasiat yang dilaksanakan :
a. Tidak boleh lebih dari 1/3, sesuai
hadits nabi saw. berikut : “Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah
banyak”Maksudnya boleh berwasiat 1/3 bagian, namun harus diingat itu sudah
banyak. Bahkan lanjutan hadits tersebut menjelaskan lebih baik meninggalkan
keluarga yang kaya dan berkecukupan dibanding keluarga yang miskin sehingga
menjadi beban orang lain.
b. Tidak boleh wasiat kepada ahli waris
kecuali ahli waris yang lain ridha.
c. Tidak untuk maksiat.
5. Nazar bila ada
C.
Dasar-Dasar Hukum Waris
Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama
adalah al-Qur'an, kemudian As-Sunnah (hadits)dan setelah itu ijma’ para ulama
serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.
1. Al-Qur'an
Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Hadis
Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang ketentuan
pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah SWT. dalam Q.S.
an-Nisa'/4:7:
Artinya:
“Bagi orang laki-laki ada
hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”
Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai
surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176,
Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang
muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan
ijtihad.
2. As-Sunnah
a. Hadits dari Ibnu Mas’ud berikut:
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud, katanya : Bersabda Rasulullah saw.:
Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al
faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia
yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua
orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka
mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan
masalahnya kepada mereka”. (HR. Ahmad).
b. Hadits dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa
Nabi saw. bersabda:
Artinya:
“Ilmu itu ada tiga macamdan yang selain yang tiga
macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi
dan faraidh yang adil”. (HR. Abu Daud dan Ibnu
Majah).
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka mempelajari ilmu faraidh
adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada
sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala
kesungguhan.
3. Posisi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian
pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan
kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1
Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah
keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur
dalam fiqih Islam.
D.
Ketentuan
Mawáris
dalam Islam
Jumlah ahli waris yang berhak menerima
harta warisan dari seseorang yang
meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15
orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah
(yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh dzawil furud) dan 10
orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris dzawil
furud (yang bagiannya telah ditentukan).
1. Syarat-syarat Mendapatkan
Warisan
Seorang muslim berhak mendapatkan
warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
a. Tidak adanya
salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan
warisan.
b. Kematian
orang yang diwarisi, walaupun
kematian tersebut berdasarkan vonis
pengadilan. Misalnya
hakim memutuskan bahwa orang
yang hilang itu dianggap telah
meninggal dunia.
c. Ahli
waris
hidup pada saat orang yang
member warisan meninggal dunia. Jadi,
jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya
meninggal dunia, maka bayitersebut berhak menerima
warisan
dari saudaranya yang
meninggal itu, karena
kehidupan janin telah terwujud
pada saat kematian saudaranya
terjadi.
2. Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
a. Nasab (keturunan),
yakni kerabat
yaitu ahli waris yang terdiri
dari bapak dari orang yang
diwarisi atau
anak-anaknya beserta
jalur kesampingnya saudara-saudara
beserta anak anak mereka serta
paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka.
AllahSWT. Berfirman
dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap
harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
b. Pernikahan,
yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan
suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
AllahSWT. Berfirman
dalam Q.S.an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu,
jika mereka
tidak mempunyai anak.”
Suami istri dapat saling mewarisi
dalam talak raj’I selama dalam masa idah dan ba’in, jika
suami menalak istrinya
ketika sedang sakit dan meninggal
dunia karena sakitnya
tersebut.
c. Wala’, yaitu
seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita.
Jika budak yang dimerdekakan
meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris,
maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya
itu. Rasulullah saw. bersabda, yang
artinya: “Wala’ itu milik orang
yang memerdekakannya.” (HR.al-BukharidanMuslim).”
3. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan
Harta
Warisan
Sebab-sebab yang
menghalangi ahli waris menerima
bagian warisan
adalah sebagai berikut:
a.
Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak
dapat mewarisi kerabatnya yang
kafir, dan
orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.
Hal ini sebagai mana sabda Nabi saw. Yang artinya:
“Orang kafir
tidak mewarisi orang muslim
dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR.BukhoridanMuslim).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan
dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak
bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi
saw. : “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan
orang yang dibunuhnya.” (HR.Ibnu
Abdil
Bar)
c. Perbudakan.
Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi,
baik budak secara utuh ataupun sebagiannya,
misalnya jika seorang majikan
menggauli budaknya hingga melahirkan
anak, maka
ibu dari anak majikan
tersebut tidak dapat diwarisi
ataupun mewarisi. Demikian
juga mukatab (budak yang dalam
proses pemerdekaan dirinya
dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua
tercakup dalam perbudakan.
Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisidan
diwarisi sesuai dengan tingkat
kemerdekaan yang dimilikinya,
berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw., yang
artinya: “Ia
(seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi
dan diwarisi
sesuai dengan kemerdekaan yang
dimilikinya.”
d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari
hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat
mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan
hadis Rasulullahsaw.: “Anak itu
dinisbatkan kepada siempunya tempat
tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an. Anak suami isteriyang melakukan li’antidak dapat
mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya
sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan
dengan anak dari hasil perzinaan
4. Ketentuan Pembagian Harta Waris
1. Dzawil Furudh,
ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan menurut ketentuan yang
telah diterangkan dalam Al-Qur’an / Al-Hadits, yaitu :
1. Mendapat 1/2 :
a. Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa {4}
: 11).
b. Cucu perempuan tunggal dari anak
laki-laki.
c. Saudara perempuan tunggal sekandung (QS.
An-Nisa (4) : 175).
d. Saudara perempuan tunggal sebapak.
e. Suami bila tidak ada anak/cucu (QS.
An-Nisa (4) : 12).
2. Mendapat 1/4 :
a. Suami bila ada anak/cucu.
b. Istri bila tidak ada anak/cucu.
3. Mendapat 1/8 :
- Istri bila ada.
anak/cucu.
4. Mendapat 2/3 :
a. Dua orang anak perempuan/lebih bila
tidak ada anak/cucu laki (QS. An-Nisa (4) : 11).
b. Dua orang cucu perempuan/lebih bila
tidak ada. anak/cucu Iaki-laki
c. Dua orang saudara perempuan/lebih
sekandung (QS. An-Nisa’ [4] : 176).
d. Dua orang saudara perempuan/lebih
sebapak (QS. An-Nisa176).
5. Mendapat 1/3,
s Ibu bila tidak ada anak/cucu/saudara
(QS. An-Nisa {4} 1
s Dua orang saudara/lebih, baik
laki-laki/perempuan yang seibu (QS. An-Nisa (4) : 11).
6. Mendapat 1/6 Ibu bila ada
anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} : 11).
a. Bapak bila ada anak laki-laki/cucu
laki-laki.
b. Nenek bila tidak ada. ibu (hadits).
c. Cucu perempuan bila bersama anak
perempuan tunggal.
d. Kakek bila tidak ada bapak.
e. Seorang saudara yang seibu, baik
laki-laki maupun perempuan(QS. An-Nisa (4) : 11).
f. Saudara perempuan seorang/lebih bila
bersama seorang saudara perempuan sekandung.
2. Ahli waris Ashabah yakni perolehan
bagian dari harta
warisan
yang tidak ditetapkan
bagiannya dalam furud tetapi mengambil sisa warisan
setelah ashabul furud mengambil
bagiannya. Ahli waris
ashabah yang ketentuannya mendapat sisa atau menghabiskan harta waris dibagi
tiga :
a. Ashabah binafsih
ahli waris yang menjadi Ashabah dengan sendirinya. Mereka itu adalah :
s Anak laki-laki.
s Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
s Bapak.
s Kakek dari bapak.
s Saudara laki-laki sekandung.
s Saudara laki-laki sebapak.
s Anak laki-laki saudara laki-laki
sekandung.
s Anak laki-laki saudara laki-laki
sebapak.
s Paman yang sekandung dengan bapak.
s Paman yang sebapak dengan bapak.
s Anak laki-laki paman yang sekandung
dengan bapak.
s Anak laki-laki paman yang sebapak dengan
bapak.
b. Ashabah bil ghair,
ahli waris yang menjadi Ashabah karena sebab orang lain (ditarik oleh saudara
laki-lakinya). Mereka itu adalah :
·
Anak
perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.
·
Cucu
perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.
·
Saudara
perempuan sekandung jika ditarik saudarnya yang lakilaki.
·
Saudara
perempuan yang sebapak jika ditarik saudaranya yang laki-laki (QS. An-Nisa {4}
: 11).
c. Ashabah ma’al ghair,
ahli waris yang menjadi Ashabah bila bersama ahli waris wanita lain. Mereka itu
adalah :
§ Saudara perempuan sekandung
seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.
§ Saudara perempuan sebapak seorang/lebih
bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.
5. Hijab dan Mahjub
Dari ke-25 ahli waris, hanya ibu,
bapak, suami/istri, anak laki-laki dan perempuan saja yang sudah pasti mendapat
bagian waris, sedang ahli waris lainnya belum pasti. Hal ini disebabkan ada
ahli waris yang kedudukannya lebih dekat dengan yang meninggal.
Halangan untuk tidak
mendapat warisan disebut “Hijab”. orangnya disebut “mahjub”.
Hijab ada dua macam yaitu :
a. Hijab Nuqsan (halangan
yang sifatnya mengurangi), seperti suami bila tidak ada anak mendapat 1/2 tapi
bila ada anak maka suami mendapat¼.
b. Hijab Hirman (halangan
yang sifatnya penuh/menutupi ahli waris lainnya secara penuh) seperti cucu
tidak mendapat bagian bila ada ayahnya.
E.
Menerapkan
Syari’ah Islam
dalam Pembagian Warisan
Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian
warisan berdasarkan syariat Islam.
1. Seorang
meninggal dunia, meninggalkan
harta sebesar Rp.180.000.000
Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu
dan 2 anak laki-laki.
Maka hasilnya adalah:
Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki,
ashabah. Asal masalahnya dari 1/6
dan 1/8 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari
bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24.
Maka pembagiannya adalah:
Istri
: 1/6 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 30.000.000,-
Ibu
: 1/8 x 24 x Rp. 180.000.000 = Rp. 22.500.000,-
Dua anak laki-laki : 24 –
(4+3 ) x Rp. 180.000.000 = Rp.127.500.000,-
Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- : 2 =
Rp.63.750.000,-
2. Penghitungan dengan menggunakan ‘aul.
Seorang meninggal dunia, meninggalkan
harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara
perempuan sekandung.
Maka hasilnya adalah:
Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan
sekandung 2/3.
Asal masalahnya
dari 1/2 dan 2/3 (KPK=Kelipatan
Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara
pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. Untuk penghitungan dalam kasus ini
harus menggunakan‘aul yaitu dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (aulnya:1),
sehingga masing-masing bagian menjadi:
Suami :
3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-
Dua saudara perempuan sekandung :
4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-
3. Penghitungan dengan menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan
harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak
perempuan.
Maka hasilnya adalah:
Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah
1/2.
Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2 (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah6.
Maka bagian masing-masing adalah 1/6 dan 3/6. Dalam hal ini masih tersisa harta
waris sebanyak 2/6. Untuk
penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan rad, yaitu membagikan
kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. Jika dilihat bagian ibu
1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 +
3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, maka hasilnya adalah:
Ibu
: 1/4
x Rp. 120.000.000,- =
30.000.000,-
Satu Anak Perempuan : 3/4
x Rp. 120.000.000,- =
90.000.000,-
F.
Manfaat dan
Hikmah Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil
untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan,
yaitu:
1. Terciptanya ketentraman hidup dan
suasana kekeluargaan yang harmonis.
Syariah adalah
sumber hukum tertinggi
yang harus ditaati. Orang yang paling
durhaka adalah orang
yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri
diturunkan untuk kebaikan
umat Islam dan memberi
jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari
masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan
diterima dengan ikhlas.
2. Manciptakan keadilan
dan mencegah konflik
pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat
berujung pada tragedi
pertumpahan darah. Meski dalam
praktiknya, selalu saja muncul
penentangan yang bersumber dari
akal pikiran.
Adapun
hikmah waris sebagai berikut :
1.
Untuk
menghindari perselisihan yang mungkin terjadi antar sesama ahli waris
2.
Untuk
menjalin persaudaraan berdasarkan hak dan kewajiban yang seimbang
3.
Menghindari
keserakahan terhadap ahli waris lainnya.
4.
Untuk
menghilangkan pilih kasih dari orang tua.
5.
Untuk
melindungi hak anak yang masih kecil atau dalam keadaan lemah
G. Penerapan
Perilaku Mulia
Sikap dan perilaku mulia yang harus kita kembangkan
sebagai implementasi dari penerapan hukum mawaris antara lain seperti berikut
ini.
1. Meyakini bahwa hukum waris merupakan
ketetapan Allah SWT. yang paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur'an dan hadis
Nabi;
2. Hukum untuk mempelajari ilmu waris
adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya.
3. Meninggalkan keturunan dalam keadaan
berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena
Islam memerintahkan, ”Berikanlah sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak
itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-Nasai);
4. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya
berwasiat, yaitu pesanseseorang ketika
masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah
orang yang berwasiat itu meninggal (Q.S.an-Nisa'/4:11);
5. Ayat-ayat al-Qur'an dalam menjelaskan
pembagian harta kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara
sistimatis didasarkan atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang
meninggalkan harta warisan. Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus
sesuai ketetapan hukum waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan
sebagai keturunan langsung, kemudian kedua orangtua mayit (leluhur) dan terakhir kepada
saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari
yang meninggal.
6. Berhukum dengan hukum waris Islam
merupakan suatu kewajiban, karena setiap
pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak
memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara
adil.
0 komentar:
Posting Komentar