oleh : Muhammad Alfithrah Arufa, M.Pd.I*
Bagaimanakah
pandangan agama khususnya islam terhadap belajar, memori dan pengetahuan ? Agaknya tiada satupun agama,
termasuk islam yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses
belajar, memori (akal) dan proses dikuasainya pengetahuan dan ketrampilan oleh
manusia.
Namun
Islam dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan
fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat
jelas. kata-kata seperti ya’qiluun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un
dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya
penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu
pengetahuan.
Islam
memandang umat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan kosong,
tidak berilmu pengetahuan. Akan tetapi, tuhan memberi potensi yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri.
Potensi-potensi
tersebut terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yang berfungsi sebagai
alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar. Adapun ragam alat
fisio-psikis itu, seperti yang terungkap dalam beberapa firman Tuhan, adalah
sebagai berikut :
a.
Indera
penglihat (mata) yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi visual
b.
Indera
pendengar (telinga) yakni alat fisik yang berguna untuk menerima informasi
verbal
c.
Akal
yakni potensi kejiwaan manusia berupa sistem psikis yang kompleks untuk menyerap,
mengolah, menyimpan, dan memproduksi kembali item-item informasi dan
pengetahuan (ranah kognitif).[1]
Alat-alat yang bersifat fisio-psikis
itu dalam hubungannya dengan kegiatan belajar merupakan subsistem-subsistem
yang satu sama lain berhubungan secara fungsional.
Islam menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi
(1984), adalah akidah yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan
penyerahan diri secara membabi buta. Hal ini tersirat dalam firman Allah, “
Maka Ketahuilah Bahwa Tiada Tuhan Kecuali Allah” (QS. Muhammad:19).
Selanjutnya, berikut ini penyusun
kutipkan firman-firman Allah dan hadis Nabi SAW baik yang secara eksplisit
maupun implisit mewajibkan orang untuk belajar agar memperoleh ilmu
pengetahuan.
a.
Allah
berfirman ,.... Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal lah yang
mampu menerima pelajaran (Al-Zumar :9)
b.
Allah
Berfirman, Dan Janganlah kamu membiasakan diri pada apa yang kamu tidak
ketahui... (Al-Isra’:36)
c.
Dalam
Hadist Riwayat Ibnu ‘Ashim dan Thabrani, Rasulullah SAW bersabda, wahai
sekalian manusia, belajarlah! Karena ilmu pengetahuan hanya didapat melalui
belajar ... (Qardhawi, 1989)[2]
Konsep manusia adalah kosong dan fitrah ini sesuai dengan Hadits
Nabi Muhammad Saw:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه
يهودانه أو ينصرانه او يمجسانه
Artinya : Setia anak yang dilahirkan dalam kedaan bersih, kedua
orang tualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani,
atau Majusi. (H.R. Muslim)
Sejalan dengan
hadist tersebut, Imam al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan
kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu
dibiasakan melakukan perbuatan buruk, dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat,
maka anak itu akan berakhlak jelek.[3]
Mengenai
proses pembelajaran, Imam al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara
materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh upaya tersebut harus
diupayakan semaksimal mungkin sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi
fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh dengan keutamaan.
Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak
diberikan materi pengajaran yang justru merusak aqidah dan akhlaknya. Anak yang
dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang
dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan
pada tahap pertama adalah ilmu agama dan syari’at, terutama Al-Qur’an.[4]
*Penulis adalah GPAI SMKN 5 Surabaya
[1]
Syah, Muhibbin,
Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011,
hlm. 99
[2]
Syah, Muhibbin,
Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru..., hlm. 99
[3]
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2005, hlm. 212
[4]
Fathiyah Hasan Sulaiman, system pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung
: PT. al-Ma’arif, 1986), hlm. 24
0 komentar:
Posting Komentar