Penyaji : Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I
Dalam sejarah
Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan
setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang
berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW
ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.
Pendapat ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad
bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin
Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin
mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah
wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW
pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah;
diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:
Dari Ibnu Umar
ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata
: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum
mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah)
kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan
tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).
Kemudian
syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya
disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang
datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang
populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh
Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah
SAW.
Praktek wakaf
menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun
lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji
para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan
wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada
mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan
yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti.
Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka
timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk
lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta
wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa
dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy
pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik
dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri
sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang
pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh
negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah.
Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang
dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang
membutuhkan.
Pada masa
dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf”
yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya
dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah
dengan pengaturan administrasinya.
Pada masa
dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana
hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh
negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby
memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara
diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang
dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum
mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali
orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial
adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh
seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama
lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan
argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang
menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin
Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan,
seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab
asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan
dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan
madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan
kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka
mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby
menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari
Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan
diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya.
Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan
politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk
diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab Syi’ah yang
dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan
wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun
yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang
diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf
hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal
ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan
Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf
pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf
keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir
dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain,
ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana
yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu
diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain
kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Perkembangan
berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski
tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun
menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada
dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277
M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih
hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.
Pada orde
al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap
berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan
kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani
dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian
besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani
secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah
peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang
yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan
pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280
Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi
wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan
wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287
Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih
banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak
masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai
sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim,
termasuk di Indonesia.
Hal ini
terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.
Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda
wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan
di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf
menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam
perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan
dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan,
seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan
lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang
cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
dengan berbagai cara dalam waqaf dapat membantu satu sama lain dengan berbagai hal yang saling membutuhkan,dan dapat menjdi roda ekonomi untuk yang membutuhkan
BalasHapus