# SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI GURU MAPEL PAI SMKN 5 SURABAYA, NGAJI SEPANJANG HAYAT | INFO : SELAMA MASA PEMBELAJARAN DI RUMAH, PEMBELAJARAN PAI DIPUSATKAN DI SITUS RESMI INI, BAGI SISWA-SISWI SMKN 5 SURABAYA SILAHKAN KOORDINASI DENGAN GURU PAI MASING-MASING UNTUK BERSAMA-SAMA MEMBERDAYAKAN SITUS INI DALAM PEMBELAJARAN JARAK JAUH # .....

Minggu, 22 Maret 2020

APA HUKUMNYA BUNGA BANK ?


Hasil gambar untuk BUNGA BANK
Penyaji : Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I

Sebelum menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya perlu dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan bunga.

Terhadap konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok ulama tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya haram secara mutlak). Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif. Ketiga, muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat. Berikut ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud :

1.    Yang termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la al-Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya, menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.

2.    Yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang
berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal usaha yang menghasilkan keuntungan.

3.    Yang termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:

يَاأَيُّ اَالَّذِينَ ءَامَنُوا لَ تَأْكُلُوا ال ربَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّه لَعَلَّكُم تُفْلِوُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

4.    Yang termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya). Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan sejalan dengan QS. 2:279.

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya jika dalam keadaan terpaksa saja.

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama seperti terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar. Terlepas dari perdebatan tersebut, melihat realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa atau darurat.

Di sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu sering menimbulkan kegelisahan di masyarakat sebab . Kondisi ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah. Jadi keharaman rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275 :

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. al-Baqarah: 2/275)

Kemudian permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah bunga bank di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak ?  

Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif dan dari usaha itu akan diperoleh keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya pihak yang meminjam dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan memperoleh keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.

Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya. Tapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks dan rumit serta tidak efesien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan merasa diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga yang akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal. Tidak adanya kepastian prosentase bunga seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan. Tapi himbauan ini menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.

Kembali tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut Islam. Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar, “Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal. Sedangkan riba yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha.”

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau bersabda:
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”

BANK DAN FEE
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan hukum bunga bank. Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat ulama tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasonal. Sedangkan ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga bank, yaitu boleh.



0 komentar:

Posting Komentar

gpaismkn5sby. Diberdayakan oleh Blogger.