Penyaji : Ust. Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I
Sebelum
menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya perlu
dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam
sistem bunga bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan
uang untuk jangka waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari
bank ditambah dengan bunga yang jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan
uang. Sebaliknya kepada mereka yang meminjam uang dari bank untuk jangka waktu
tertentu oleh bank juga diharuskan untuk mengembalikan uang yang dipinjam.
Selain itu, iapun harus memberikan uang tambahan yang jumlahnya telah
disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut dengan
bunga.
Terhadap
konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama dalam
menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok
ulama tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok
yang menghukuminya haram secara mutlak). Kedua kelompok yang mengharamkan jika
bersifat konsumtif. Ketiga, muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan
keempat, kelompok yang menganggapnya syubhat. Berikut ini akan diuraikan
empat kelompok ulama seperti dimaksud :
1.
Yang termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra,
Abu A’la al-Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq,
Jaad al-Haqq Ali Jadd al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat
bahwa bunga bank itu riba nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena
itu, umat Islam tidak boleh berhubungan dengan bank yang memakai sistem bunga,
kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan kondisi yang tersebut terakhir
ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya, menurutnya tidak dikenal
istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya bersifat mutlak.
2.
Yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa
A. Zarqa. Beliau berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat
konsumtif seperti yang
berlaku pada zaman jahiliyah sebagai
bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang konsumtif berbeda yang bersifat
produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga dikemukakan oleh M. Hatta.
Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba dengan rente.
Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang membutuhkan
pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente sifatnya
produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal
usaha yang menghasilkan keuntungan.
3.
Yang termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis).
Beliau berpendapat bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia
bukan termasuk riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat:
يَاأَيُّ اَالَّذِينَ ءَامَنُوا لَ تَأْكُلُوا ال ربَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّه لَعَلَّكُم تُفْلِوُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali
Imran: 130)
4.
Yang termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih
Muhammadiyah dalam muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang
diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat
(belum jelas keharamannya). Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah
riba yang mengarah kepada pemerasan sejalan dengan QS. 2:279.
Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Muhammadiyah
masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh karena itu
Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya jika dalam
keadaan terpaksa saja.
Masing-masing
klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama seperti
terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui
ijitihad mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga
masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang diyakininya benar. Terlepas
dari perdebatan tersebut, melihat realitas yang ada bagi umat Islam termasuk di
Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank tanpa
ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa
atau darurat.
Di sisi
lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang
dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda
dengan bunga bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu sering
menimbulkan kegelisahan di masyarakat sebab . Kondisi ini muncul dikarenakan
beban yang ditanggung oleh pihak nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain
muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari hasil rentrenir yang memeras
pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan bahwa sisten
renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di
dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang
membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah. Jadi
keharaman rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di
dalamnya terdapat kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak
peminjam merasa teraniaya dan tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran
dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka tidak dinamakan riba yang
diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 275 :
Artinya: “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS.
al-Baqarah: 2/275)
Kemudian
permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah bunga bank
di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak ?
Bank
merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme bank
untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat
menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat
meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan.
Masyarakat yang meminjam uang ke bank pada umumnya digunakan sebagai modal
usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif dan dari usaha itu akan diperoleh
keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya kepada bank
untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya
beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya pihak yang meminjam
dana tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi
dapat memanfaatkan pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan.
Berdasarkan prinsip bahwa tidak terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah
adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan hak
untuk mempergunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak
mendapat imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal
usaha dan memperoleh keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik
modal pertama.
Salah
satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah
atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi
persoalan ini ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti
diperhitungkan untung dan rugi perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli
dan pengguna modal, baik keuntungannya maupun kerugiannya. Tapi pengelolaan
sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka yang sekarang dipraktekkan
oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat kompleks dan rumit serta
tidak efesien.
Hal yang
mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi kegagalan
atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan merasa
diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga yang
akan diterima memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal. Tidak adanya
kepastian prosentase bunga seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan
salah satu penyebab mengapa bank itu sukar menarik modal. Apa yang dipraktekkan
oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam mengajarkan kepada orang
yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya kepada orang lain
yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan. Tapi himbauan ini menjadi tidak
relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi jumlah
besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.
Kembali
tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi
berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga
deposito berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu
itu tidak haram menurut Islam. Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh
Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar, “Tidak termasuk riba seseorang yang
memberikan kepada orang lain uang untuk diinfestasikan sambil menentukan
baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi semacam ini
menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal. Sedangkan riba yang diharamkan
itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta menguntungkan pihak lain
tanpa usaha.”
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada Nabi. Ketika
Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau
bersabda:
Artinya: “Sebaik-baik kamu
adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”
BANK DAN FEE
Fee artinya pungutan dana yang dibebankan
kepada nasabah bank untuk kepentingan administrasi, seperti keperluan kertas,
biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada hakikatnya bisa
dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan hukum
bunga bank. Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat ulama
tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan
bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan,
yaitu dengan mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya,
mereka menganggap fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana
operasonal. Sedangkan ulama yang menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan
bank itu darurat atau alasan lainnya, merekapun mengatakan bahwa fee bukan
termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh selain alasan bahwa tanpa fee,
maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu sebagai alat sama
hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama dengan bunga
bank, yaitu boleh.
BACA JUGA :KEHARAMAN RIBA DAN HIMAHNYA
0 komentar:
Posting Komentar