Penyaji : Ust. Muchamad Sofyan Hadi
A. Pengertian Riba
Secara bahasa, kata riba berarti
tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai,
benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain
jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu
pengembalian uang pinjaman, riba semacam ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah
tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus
dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari
jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam. Riba nasiah ini
terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun
dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab
sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan
pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga
disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar hukumnya
disebut secara jelas dan pasti. Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini
pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang
kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji
akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran.
Sebagian tokoh sahabat Nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid,
keduanya pernah mempraktekkannya sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang
kemudian membuat heran orang musyrik, karena mereka telah menganggap jual beli
itu sama dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147). Ayat tersebut berbunyi :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا …
Artinya: “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (QS. 2:275)
Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa
riba nasiah mengandung tiga unsur. Pertama, terdapat tambahan pembayaran
atau modal yang dipinjamkan. Kedua, tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai
imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam. Ketiga, tambahan itu
disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu. Bandingkan
dengan kasus lain, penambahan yang dilakukan oleh orang yang berhutang ketika
membayar dan tanpa ada syarat sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap
perbuatan ihsan (baik) yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish
Shihab, 1988:136). Rasul pernah berhutang kepada seseorang seekor hewan
kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya seraya bersabda:
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ اَحْسَنَكُمْ
قَضَاءً (متفق عليه)
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik
kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar hutangnya.” (HR. Bukhari
Muslim)
Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji.
Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan
tersebut disyaratkan pada waktu aqad. Artinya seseorang mau memberikan hutang
dengan syarat ada tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela
karena ada kezaliman dan pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak
dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan itu diberikan oleh orang yang berhutang
ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat hanya sebagai tanda rasa terima
kasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.
Selain riba nasiah seperti telah
dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam bentuk lain yang disebut
dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba
yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan kata
lain bahwa riba fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah
yang sudah jelas keharamannya. Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali
dengan sama banyak dan secara tunai. Barang siapa yang menambah atau minta
tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya
(HR. Bukhari). Dari pengertian tersebut, fuqaha menyimpulkan bahwa
riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara
benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak dan
sebagainya.
Tentang keharaman riba, sikap semua agama
samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani) secara tegas mengharamkan riba karena
dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral. Di dalam kitab perjanjian
lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq “jika
kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu
bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan hartamu”.
Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu membutuhkan
sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu meminta darinya keuntungan dan manfaat”. Paus
Pius berkata “sesungguhya pemakan riba akan kehilangan harga diri/kemuliaan
dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah mereka
mati”. Sedangkan dalam Islam, keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara
kronologis di berbagai tempat. Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat
al-Ruum ayat 39.
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). (QS.: 30/39)
Pada priode Madinah turun ayat yang
secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali Imran
ayat 130
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS:
3/130)
Ayat terakhir yang memperkuat keharaman
riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 278-279:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah,
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)
Dua ayat terakhir di atas mempertegas
sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak
haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan pengembalian
hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram dan termasuk salah
satu dari lima dosa besar yang membinasakan. Dalam hadits yang lain, keharaman
riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi juga kepada semua pihak yang ikut
membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
لعن الله الله آكل الربا، ومؤكله، وشاهديه، وكاتبه.
)رواه البخارى ومسل (
Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya,
saksi-saksinya dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
B.
Hikmah Keharaman Riba
Berdasar kepada keharaman riba
sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan Sayyid Sabiq memberikan
komentar yang senada tentang bahaya riba dalam konteks kehidupan personal dan
sosial. Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram menyatakan
bahwa dalam praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta
orang lain tanpa hak. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang
yang berhutang untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang
harus dibayarkan. Selain itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba
terkandung potensi secara psikologis yang dapat melemahkan kreatifitas manusia
untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya dan aktifitas ekonomi
lainnya yang mampu memutus kreatifitas hidupnya. Dampak negatif ini muncul
sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam sakunya diperoleh
secara mudah tanpa mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung kepada
riba yang diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang
konsumtif dan tidak produktif. Lanjut Qardhawi menjelaskan, aspek lain yang
tidak kalah pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek
riba berpotensi besar untuk menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam
hutang piutang.
Transaksi hutang piutang yang pada
mulanya mengandung kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong
dalam kehupuan sosial, akibat virus riba maka hutang piutang akhirnya berubah
menjadi sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya
bermental lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. Selain itu,
dilihat secara moral, tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai
kemanusiaan karena di dalamnya terdapat eksploitasi terhadap kaum lemah, hal
ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan adalah orang yang memberi
hutang adalah orang kaya dan orang yang berhutang adalah orang miskin.
Mengambil kelebihan hutang dari orang yang miskin sangatlah tidak wajar dan
bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt., hal ini akan merusak sendi-sendi
kehidupan sosial. (Qardhawi, 1994: 242-243).
Hampir senada dengan Qardhawi, Sayyid
Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang diakibatkan oleh riba. Namun
terdapat point penting lain yang dapat diungkap dari Sabiq yaitu bahwa dalam
praktek riba akan dapat menimbulkan potensi permusuhan. Hal ini muncul dimungkinkan karena dalam praktek riba
menapikan unsur tolong menolong yang dapat memperkuat tali persahabatan dan
persaudaraan. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang
dianjurkan oleh semua agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya dapat
hidup selalu saling tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan
kepentingan pribadi dan mengeksploitasi kerja orang lain.
Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek
riba berpotensi untuk melahirkan mental hidup mewah (pemboros), pemalas yang
tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha yang tak ubahnya
seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain. Sederet dampak yang
tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang bertentangan dengan semangat
ajaran Islam. Pemborosan merupakan sifat yang seharusnya dijauhi oleh ummatnya
karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan perbuatan yang
tidak bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan. Demikian halnya dengan
sikap berpangku tangan juga merupakan sifat yang tidak islami, karena ajaran
Islam menganjurkan ummatnya berusaha sekuat tenaga untuk mencari harta dengan
jalan yang benar, menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka
bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang
kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat hidup seseorang.
Butir lain yang tidak kalah pentingnya
dengan butit-butir terdahulu yang diungkap Sabiq adalah bahwa praktek riba
merupakan salah satu cara penjajahan. Hal ini dapat dipahami karena
sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah yang berkembang sampai
sekarang menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang berbasis kapitalis yang
jauh dari nilai tolong nenolong. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri yang mengajak manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada
yang memerlukan dengan baik semata untuk mendapat pahala bukan mengekploitasi
orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)
Memperhatikan praktek riba dan segala
konsekuensi yang diakibatkan darinya sebagaimana dijelaskan di atas maka
penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh praktek riba
dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal maupun sosial yang diistilahkan dalam
agama jauh dari keberkahan hidup. Jika praktek riba dibiarkan tanpa usaha untuk
mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas dari sistem riba
maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap kaum
lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi
kegersangan yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern. Di sisi lain akan
semakin kuatlah adigium yang menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin tertindas.
0 komentar:
Posting Komentar